Seleksi terbuka Camat dan Lurah –kerap juga disebut lelang jabatan—masih melahirkan pro dan kontra, khususnya di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Benarkah mekanisme ini cacat hukum?
[caption id="attachment_247279" align="aligncenter" width="300" caption="pendaftaran daring seleksi terbuka"][/caption]
Terpilihnya Joko Widodo sebagai gubernur Jakarta menghadirkan harapan baru bagi sebagian kalangan di ibukota. Jokowi dianggap sukses mengubah wajah Kota Solo. Tuahnya diharapkan mampu mengubah Jakarta.
Ekspektasi yang tidak bisa dibilang mudah. Mengapa? Jakarta dan Solo jelas berbeda. Dilihat dari aspek manapun sulit mendapatkan komparasi apple to apple antara Jakarta dengan Solo. Problematika ibukota jauh lebih rumit dan kompleks.
Tapi, bukan Jokowi namanya kalau mudah menyerah. Kondisi seperti apapun bisa diubah, asalkan ada keinginan untuk mengubahnya. Tentu saja tidak bisa dilakukan seorang diri oleh gubernur. Sinergi yang baik dengan wakil gubernur, DPRD dan jajaran birokrasi memegang peranan penting.
Salah satu langkah awal Jokowi adalah mencoba sebuah mekanisme baru dalam menjaring Camat dan Lurah. Seleksi terbuka Camat dan Lurah dimaksudkan untuk mendapatkan pejabat pamong yang mau mengemong dan bekerja untuk rakyatnya.
Camat dan Lurah dianggap sebagai kepanjangan tangan gubernur. Apabila masalah warga bisa diselesaikan secara berjenjang, tentu beban persoalan tidak akan menumpuk di gubernur. Sebetulnya, sejak era Fauzi Bowo sudah dilakukan upaya penguatan Kecamatan dan Kelurahan. Urban manager, itulah gambaran ideal Camat dan Lurah di mata Bang Foke.
Untuk merealisasikan ide yang masih mentah itu, dirumuskanlah Peraturan Gubernur sebagai payung hukum kebijakan ini. Adalah Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2013 yang mengatur Seleksi Terbuka Camat dan Lurah.
Baru dua hari pendaftaran dibuka, merebak kembali wacana bahwa lelang jabatan camat dan lurah cacat hukum. Dalil yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam UU tersebut, tepatnya pada Pasal 21 ayat (3) memang disebutkan bahwa: “Camat dan wakil camat diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul walikota/bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Mereka menafsirkan ayat tersebut bahwa untuk menjadi Camat harus diusulkan oleh Walikota/Bupati, bukan melalui sistem lelang seperti yang akan dilaksanakan. Mereka juga berargumen bahwa sistem ini merusak tatanan yang sudah terbangun.
Kekhususan Jakarta memang diatur melalui UU Nomor 29/2007, tapi jika merujuk pada UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pun kita akan mendapati hal yang serupa. Bahwa Camat diangkat oleh Walikota/Bupati atas usul Sekretaris Daerah. Mengapa di daerah lain Camat diangkat oleh Walikota/Bupati? Karena otonomi daerah melekat di Kota/Kabupaten, tidak seperti di Jakarta yang otonominya melekat di Provinsi.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 juga mengatur hal yang sama. Pasal 24 menyebutkan, “Camat diangkat oleh bupati/walikota atas usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang -undangan.”
So, dapat disimpulkan bahwa lelang jabatan Camat dan Lurah cacat hukum? Sebagai bukan pakar hukum, bukan kapasitas saya untuk mengeluarkan fatwa hukum atas permasalahan tersebut. Silakan saja pihak yang berkepentingan membawanya ke Mahkamah Konstitusi.
Namun, tidak salah juga jika saya ingin sekadar memberi tafsiran berbeda atas UU 29/2007 tersebut. Dalam Pasal 21 menyebutkan bahwa: Camat dan wakil camat diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul walikota/bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perhatikan dengan seksama, apakah ada klausul yang mengatur mengenai mekanisme bagaiman usulan itu bisa muncul? Tidak ada. Artinya, seleksi terbuka bisa saja dilakukan sekadar untuk menjaring calon camat dan calon lurah. Para kandidat yang lolos seleksi ini kemudian masih harus mendapatkan usulan dari walikota/bupati untuk dapat diangkat pada jabatannya.
Cukup sederhana sepertinya, tapi menjadi sulit apabila resistensi terhadap perubahan terus dilakukan. Begitulah tantangan menduduki jabatan politis, yang harus mampu mengendalikan birokrasi.
Sebagaimana perumpamaan yang pernah saya katakan jauh hari sebelum pilkada, gubernur itu ibarat lokomotif dan birokrasi sebagai gerbongnya. Entah lokomotifnya canggih keluaran Jerman ataupun lokomotif asal dalam negeri yang telah teruji ketangguhannya, tidak akan mampu menarik gerbong yang sudah bobrok. Benahi dulu gerbongnya agar kereta bisa melaju cepat. Selamat bekerja Jokowi-Ahok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H