Kisruh pemungutan suara pilpres di Hongkong terus menjadi perbincangan. Tudingan turut dialamatkan kepada komisioner KPU yang kebetulan hadir di sana, Sigit Pamungkas dan Juri Ardiantoro. Mereka dianggap tidak netral lantaran sempat ada isu menyebutkan ‘TPS akan dibuka lagi untuk yang memilih kandidat nomor urut 1’.
Kemarin KPU sudah mengklarifikasi dan menjelaskan kronologi versi mereka. Tapi, polemik belum mereda. Ada juga yang beranggapan wacana ini sengaja diramaikan sebagai ‘pemanasan’ untuk meyakinkan adanya skenario kecurangan sistematis di pemilihan presiden 2014. Saya tidak mau terjebak dalam perdebatan ini, dan memilih untuk melihat dari perspektif seorang penikmat sepak bola.
Pilpres kali ini secara kebetulan berbarengan dengan penyelenggaraan Piala Dunia. Besok tepat 9 Juli, bukan cuma nasib pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK melainkan juga kelangsungan tim Jerman atau Brasil di Piala Dunia. Kedua tim akan bertemu di semifinal.
Secara teknis, sulit menentukan tim mana yang lebih kuat dan pantas lolos ke semifinal. Di sinilah menariknya sepak bola. Tidak seperti pilpres yang terus-terusan diprediksi melalui survei elektabilitas, duel Brasil-Jerman justru lebih sulit ditebak. Metode statistika mungkin bisa membantu, tapi akan banyak faktor lain yang menjadi variabel pengganggu.
Salah satu faktor yang membuat Brasil lebih diunggulkan adalah status sebagai tuan rumah. Dukungan suporter saban mereka tampil dianggap sebagai ‘pemain ke-12’. Di luar itu, Selecao juga dinilai kerap diuntungkan keputusan wasit. Tim lawan, termasuk Jerman pun senang sekali memancing Brasil dengan tudingan ini.
“Saya berharap wasit Rodriguez jeli, karena saya melihat beberapa pertandingan terakhir energi fisik Brasil di atas yang kami saksikan di Eropa,” kata pelatih Jerman Joachim Loew. Apa yang diungkapkan Loew bukan barang baru. Tim lawan, penonton, bahkan pengamat juga banyak yang berpendapat demikian.
Tentu saja ini membuat Tim Samba meradang. “Tekanan seperti ini saya rasa sungguh konyol. Brasil tak butuh wasit untuk meraih kemenangan. Anda harus menunjukkan sedikit respek kepada timnas Brasil dan rakyat Brasil,” keluh juru bicara Brasil, Rodrigo Paiva.
Di tengah sepak bola yang sedemikian menjadi industri dan high cost, wasit memang semakin tersudut posisinya. Mereka harus menjadi manusia sempurna yang tidak boleh melakukan kesalahan. Bahkan, demi meminimalisasi kesalahan sang pengadil dibekali berbagai alat bantu dan teknologi yang semakin menipiskan unsur manusiawi dalam permainan sepak bola.
Meski begitu, ada nasihat bijak dari Pierluigi Collina mantan wasit FIFA asal Italia yang begitu disegani dan harum namanya. “Ada dua tim yang berlaga serta puluhan ribu mata penonton mengawasi. Tugas wasit hanyalah membantu agar permainan bisa berjalan secara baik. Sekali seorang wasit dihormati, maka ia juga akan dipercaya, dan sekali mereka percaya pada wasit, maka penonton akan menerima bahkan kesalahan yang paling aneh sekalipun,” kata pria berkepala plontos itu.
Kembali ke soal kisruh pilpres di Hongkong, KPU sejatinya tak ubahnya wasit dalam sepak bola. Netralitas wasit –dalam hal ini KPU—mutlak dibutuhkan. Sedikit saja ada indikasi keberpihakan, sulit mengembalikan kepercayaan publik. Sebaliknya, jika mereka mampu bekerja sesuai aturan dan prosedur, maka keterlaluan jika masih saja dituding dengan isu miring.
Sportivitas harus dimiliki oleh semua unsur yang terlibat. Dalam sepak bola, para pemain, ofisial, pelatih dari kedua tim, wasit, penonton, penyelenggara harus sama-sama menjunjung tinggi sportivitas. Pun demikian dalam pesta demokrasi, pihak-pihak terlibat seperti KPU, kandidat, tim sukses, partai politik, dan termasuk kita sebagai pemilih wajib hukumnya untuk tetap mengedepankan fair play.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H