Terhitung sejak tanggal 10 September 2014, sudah lebih dari seminggu harga LPG ukuran tabung 12 kilogram dinaikkan oleh Pertamina. Meski begitu, tidak terlalu terasa adanya gejolak di masyarakat sebagai imbas kebijakan ini. Mengapa kontras sekali dengan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yang bahkan sudah heboh walaupun belum terjadi?
[caption id="attachment_343134" align="aligncenter" width="300" caption="LPG Bright Gas, produk khusus Pertamina untuk kelas atas. sumber foto: Pertamina"][/caption]
Penyesuaian harga LPG 12 Kg sudah lama diwacanakan. Jika mengacu pada Roadmap Penyesuaian Harga Elpiji 12 kg, kenaikan pertama seharusnya sudah dilakukan pada Juli 2014 lalu. Namun, karena pertimbangan situasi politik nasional serta menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Iedul Fitri, kenaikan harga diputuskan diundur. Tepat 10 September kemarin kenaikan harga sudah tidak bisa dihindari lagi. Selanjutnya, harga Elpiji akan dinaikkan lagi pada pada 1 Januari 2015, 1 Juli 2015, dan 1 Januari 2016.
Saat ini, Elpiji dilepas ke pasaran dengan harga jual rata-rata Rp 7.569 per kg dari sebelumnya Rp 6.069 per kg. Dengan ditambahkan dengan komponen biaya lain, seperti transportasi, filling fee, margin agen, dan PPN, maka harga jual di agen menjadi Rp 9.519 per kg atau Rp 114.300 per tabung. Dengan panjangnya rantai distribusi, harga di pengecer terendah bisa dipastikan akan lebih dari angka tersebut. Secara sederhana, kenaikan LPG kali ini sebesar Rp. 1.500 / kg.
Kenapa LPG harus naik terus sampai 2016? Untuk diketahui, harga jual LPG di Indonesia jauh di bawah nilai keekonomiannya. Berbeda dengan LPG 3 kg yang mendapat subsidi (Public Service Obligation/PSO), LPG 12 kg tidak diperlakukan demikian. Artinya, Pertamina yang harus menanggung kerugian akibat selisih harga jual dengan nilai keekonomiannya. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian LPG Tertentu mengatur secara tegas soal penetapan harga jual LPG tertentu (3 kg) dan LPG umum (12 kg, 50 kg dan curah).
Data Pertamina menyebutkan kerugian yang dialami dari penjualan LPG dalam periode 2009 – 2013 mencapai 17 triliun. Dengan penyesuaian harga terbaru diharapkan dapat menekan kerugian bisnis LPG Pertamina pada tahun 2014 sebesar Rp452 miliar sehingga menjadi Rp5,7 triliun dari prognosa semula Rp6,1 triliun dengan proyeksi tingkat konsumsi Elpiji 12kg mencapai 907.000 metric ton. Kerugian ini masih melebihi proyeksi RKAP 2014 sebesar Rp5,4 triliun yang dipatok pada asumsi CP Aramco sebesar US$833 per metric ton dan kurs Rp10.500 per US$.
Sejauh ini belum terjadi ekses negatif dari penyesuaian harga LPG 12 kg. Coba bayangkan jika yang naik adalah harga BBM, pasti langsung timbul pro dan kontra bahkan dijadikan komoditas politik. Konsumsi LPG memang tidak sebesar BBM, sehingga kontribusinya terhadap pengeluaran rumah tangga tidak signifikan. Di samping itu, mekanisme subsidi untuk LPG secara relatif lebih tepat sasaran ketimbang BBM.
[caption id="attachment_343131" align="aligncenter" width="392" caption="sumber : Pemaparan Elpiji 12 kg (Pertamina)"]
Konsumsi LPG 12 kg hanya sebesar 17 % dari konsumsi LPG total. Sedangkan LPG 3 kg dinikmati oleh 79 % konsumen. Pengguna LPG 12 kg mayoritas adalah kelas atas. Hasil survei Nielsen yang dirilis Pertamina menunjukkan, konsumen LPG 12 kg di perkotaan adalah masyarakat dengan status ekonomi cukup tinggi (SES Upper 1 dan SES Upper 2), yang tingkat pendidikannya minimal SMA dan rata-rata pengeluaran per bulan mencapai Rp. 2.340.087 (SES Upper 2) dan Rp 4.432.985 (SES Upper 1). Adapun di kawasan pedesaan, pengguna LPG 12 kg setidaknya berasal dari kelompok masyarakat dengan status ekonomi menengah (SES Middle 1 dan SES Middle 2). Artinya, nyaris tak ada warga dari kalangan kurang mampu yang menjadi pelanggan LPG 12 kg.
Akan tetapi, Pertamina harus mewaspadai potensi berpindahnya konsumen LPG 12 kg ke LPG 3 kg. Jika itu terjadi, efek dominonya akan meluas. Dengan ditambah ‘konsumen baru’, maka permintaan terhadap LPG 3 kg akan meningkat. Sebagaimana hukum ekonomi, apabila permintaan dan penawaran tidak seimbang maka akan berpengaruh pada harga. Jadi, walaupun hanya LPG 12 kg yang harganya dinaikkan secara resmi, harga LPG 3 kg bisa ikut terdongkrak naik. Kalau harga kedua jenis LPG itu naik di pasaran, maka inflasi tak terhindarkan. Sektor usaha perdagangan makanan adalah yang pertama akan terpengaruh dengan situasi ini. Mau tak mau mereka akan menyesuaikan harga agar bisa menutup kenaikan biaya produksi.
Oleh karena itu, menjadi penting untuk terus menjaga agar pendistribusian dan penjualan kedua jenis LPG ini tepat sasaran. Peraturan Bersama Mendagri (Nomor 7 Tahun 2011) dan Menteri ESDM (Nomor 5 Tahun 2011) sudah mengatur bagaimana pembinaan dan pengawasan pendistribusian tertutup LPG tertentu atau LPG 3 kg. Yang dimaksud pendistribusian tertutup dalam peraturan tersebut adalah dengan menggunakan Kartu Kendali. Rumah tangga dan usaha mikro di wilayah distribusi tertutup akan mendapatkan Kartu Kendali untuk bisa membeli LPG 3 kg.
Sayangnya, penerapan kebijakan ini belum efektif dan maksimal. Belum ada keseragaman pola penetapan wilayah distribusi tertutup. Mungkin lebih baik jika istilahnya diganti menjadi distribusi terbatas namun berlaku secara nasional tanpa perlu ada penetapan dari daerah. Yang perlu diperketat selanjutnya adalah mekanisme penetapan rumah tangga dan usaha mikro penerima Kartu Kendali.
Apabila pola ini berhasil, niscaya Roadmap Penyesuaian Harga Elpiji 12 kg akan berjalan mulus sesuai rencana sampai tahun 2016 nanti. Jika penyesuaian harga LPG berhasil, seyogianya hal ini menjadi pembelajaran bagi polemik harga keekonomian BBM bersubsidi. Pemerintah harus berani mengambil kebijakan tegas agar subsidi tidak salah sasaran. Tentu saja dilakukan dengan strategi yang tepat dan terukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H