Ajang Lebaran Betawi ke-9 yang berlangsung di Lapangan Banteng akhir pekan kemarin meninggalkan cerita tak sedap. Sambutan Ketua Umum Bamus Betawi dianggap menyerang gubernur dengan isu SARA.
"Makanya kita sepakatlah orang Betawi saatnya bangkit. Mudah-mudahan 2017 gubernurnya orang Betawi. Paling enggak ada perwakilan Betawinya," demikian salah satu penggalan pernyataan Lutfi Hakim. Ia juga mengungkit jasa-jasa kaum Betawi terhadap republik ini.
Basuki sendiri tidak hadir dalam acara tersebut. Konon, ketidakhadiran gubernur itu yang memicu kekesalan Lutfi. Menurut wakil gubernur Djarot, Basuki tidak bisa datang karena melayat Inspektur Provinsi DKI Jakarta yang meninggal dunia. Walhasil, Djarot yang sebetulnya hanya dijadwalkan datang pada saat pembukaan acara hari Sabtu (13/8), kembali hadir pada acara puncak di hari Minggu (14/8).
Terlepas dari alasan yang dikemukakan Djarot, Basuki tampaknya sengaja memilih untuk tidak hadir ke Lebaran Betawi 2016. Acara berbalut tradisi memang sangat dekat kaitannya dengan isu SARA. Sebelumnya, di Festival Condet akhir bulan lalu juga bertebaran spanduk penolakan terhadap Ahok.
Boleh jadi Sang Petahana sudah berhitung, datang ke acara Lebaran Betawi akan kontraproduktif bagi dirinya. Apalagi Ahok kerap terpancing emosinya. Alih-alih silaturahim justru malah bisa ribut.
Sebetulnya, Basuki sangat mendukung kegiatan Lebaran Betawi. Melalui Instruksi Gubernur Nomor 114 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Lebaran Betawi 2016, ia memerintahkan lebih dari 30 SKPD/UKPD dan 5 BUMD untuk berkontribusi dalam acara tersebut.
Mendompleng kegiatan Lebaran Betawi untuk kepentingan politik bukan kejadian baru kali ini saja. Empat tahun lalu, Nachrowi Ramli yang maju sebagai calon wakil gubernur mendampingi incumbent Fauzi Bowo juga mengobral isu SARA di acara Lebaran Betawi 1433 H. “Saya mengingatkan kepada kaum Betawi, tidak ada pilihan lain, selain satu untuk semua. Silakan keluar dari Betawi jika tidak memilih orang Betawi,” kata Nara kala itu. 'Satu untuk semua' adalah tagline pasangan Foke-Nara di pilkada 2012.
Berangkat dari pernyataan Nara -yang kemudian ditimpali juga Foke-saya sempat menulis tentang hubungan antara politik dan etnis Betawi (selengkapnya baca di sini). Empat tahun berselang, ternyata masih ada yang menjadikan isu ke-betawi-an sebagai komoditas politik. Apa iya masih laku dijual? Jangan-jangan malah dianggap manuver politik murahan.
Sudah sejak empat tahun lalu saya menyatakan dukungan suara dari etnis Betawi di pilkada tidak akan signifikan terhadap perolehan suara keseluruhan. Dari segi jumlah, etnis betawi bukanlah mayoritas. Saya juga tidak habis pikir kalau masih ada tokoh yang mengklaim seolah-olah Jakarta adalah punya orang Betawi. Cara pikir seperti ini, 'nggak betawi banget'. Orang betawi itu identik dengan keterbukaan dan toleransinya yang amat tinggi. Setidaknya begitu nilai-nilai yang ditanamkan di lingkungan keluarga bapak saya.
Walaupun begitu, saya tetap menghargai sikap dari tokoh betawi yang menginginkan Jakarta dipimpin oleh orang dari etnis yang sama. Namanya juga usaha. Politik memang selalu soal perebutan kekuasaan. Dalam perebutan kekuasaan, berbagai cara harus ditempuh, tentunya dengan tidak mengabaikan etika.
Satu-satunya orang betawi yang sering disebut akan maju ke gelanggang pilkada adalah Saefullah, Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta saat ini. Posisinya memang belum pasti. Sejauh ini, Bang Ipul cenderung diduetkan sebagai calon wakil dari Sandiaga Uno. Namun, jika Sandi diusung sebagai calon wakil gubernur dari calon gubernur lain, pupus harapan Saefullah.