[caption id="attachment_325672" align="aligncenter" width="300" caption="Peserta Kompasiana Nangkring membludak"][/caption]
Acara Kompasiana Nangkring bersama PT. Jakarta Monorail (Sabtu, 25/4/2014) di Outback Steak House, Kuningan City, berlangsung seru. Kompasianer yang hadir plus sejumlah rekan-rekan jurnalis terlibat diskusi hangat dengan narasumber. Kompasianer dan masyarakat umum yang tidak berkesempatan hadir juga bisa menyimak perbincangan melalui livestreaming @KoplakYoBand maupun on air di radio MotionFM.
Tema diskusi kali ini adalah “Jakarta Monorail: Persoalan Infrastruktur atau Politik?”, dengan menghadirkan narasumber yaitu John Aryananda (Dirut PT. JM), Dharmaningtyas (pengamat transportasi), Tjipta Lesmana (pakar komunikasi politik), dan Lukas Hutagalung (konsultan infrastruktur). Sedangkan moderator adalah Laksono Hari Wiwoho, yang sehari-hari merupakan editor Megapolitan di Harian Kompas.
Acara ini tampaknya memang dirancang sebagai ajang ‘pembelaan diri’ dari PT. Jakarta Monorail (PT. JM). Pemilihan tema pun terasa sekali nuansa retoris. Wajar saja sih, mungkin PT. JM merasa pemberitaan selama ini tidak berimbang dan cenderung menyudutkan mereka.
Hal ini menjadi nyata saat John yang mendapat kesempatan pertama bicara mengatakan, “Pemprov DKI Jakarta sudah memilih bekerjasama dengan kami, tapi kenapa sekarang kesannya dipolitisasi.”
Sebelumnya, John memaparkan mengenai perbedaan monorel dengan moda transportasi lain yang berbasis rel (baca: KRL). Sejujurnya ia mengatakan, monorel tidaklah lebih efisien. Namun, monorel sangat feasibel dibangun di Jakarta karena tidak membutuhkan tiang pancang yang besar. Hal ini karena monorel lebih ringan dibanding kereta lainnya.
“Sejak sepuluh tahun yang lalu saya konsisten mengatakan, monorel hanyalah rute makan siang. Mengapa? Karena rutenya bukan merupakan daerah asal (origin). Senayan dan Kuningan kan sama-sama tujuan (destination) pengguna transportasi,” sebut Dharmaningtyas. Ia mempertanyakan sejauhama monorel bisa membuat pengguna kendaraan umum, khususnya yang berdomisili di daerah penyangga, mau dan bisa beralih ke transportasi umum.
Menanggapi hal tersebut, John menegaskan bahwa monorel hanyalah salah satu bagian dari rencana pola transportasi makro yang sudah disusun pemerintah. “Jika hanya monorel yang dibangun, saya setuju dengan Pak Dharmaningtyas,” kata John. Ia menambahkan bahwa pemerintah harus konsisten menjalankan rencana yang sudah dibuat.
Sementara itu, Tjipta Lesmana mengajak peserta diskusi melakukan refleksi terlebih dulu, “sebetulnya kita butuh monorel nggak sih,” tanyanya. Profesor dari Universitas Pelita Harapan ini sendiri secara pribadi mengakui bahwa monorel dibutuhkan. Lebih lanjut ia menguraikan, jika memang butuh seharusnya semua pihak berkepentingan bisa duduk bersama membahas penyelesaian proyek yang terkatung-katung ini.
“Saya melihat Ahok cari panggung di sini,” bebernya mengkritik gaya komunikasi Wakil Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Tjipta juga menyebut ada sinyalemen politisasi oleh Ahok. “Ini kan seperti dia mau bilang, tunggu gue jadi gubernur, gue gorok nih PT. JM,” lanjutnya.
Diskusi semakin seru saat Dharmaningtyas mengulas balik sejarah rencana monorel di Jakarta serta analisis kebijakan oleh Lukas Hutagalung. “Semakin lama ini ditunda, maka semakin besar investasi yang akan dikeluarkan,” kata Lukas yang berasal dari Bappenas.
Peserta diskusi yang hadir juga diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada narasumber. Sebagian di antaranya menyuarakan dukungan terhadap PT. JM untuk melanjutkan proyek ini.
Secara garis besar, kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa proyek monorel memang bukan semata persoalan infrastruktur tetapi juga kental dengan nuansa politis. Penggagas acara tentu sudah tahu ke mana arah diskusi, “Jakarta Monorail (Memang) Persoalan Politis”.
Yang lebih menarik bagi kita adalah bagaimana pihak-pihak terkait menyelesaikan persoalan ini agar tidak terjadi deadlock. Mengutip pernyataan Prof. Tjipta, Pemprov DKI dan PT. JM harus membuang jauh-jauh prasangka di antara keduanya. Hal senada juga disampaikan oleh Bapak Lukas, “ibarat mau menikah, saling percaya (mutual trust) mutlak dibutuhkan.”
Persoalan politik tak bisa dihindari tapi harus dihadapi. Satu hal yang jangan dilupakan adalah menempatkan kepentingan publik di atas segalanya. Masyarakat sudah cukup stres menghadapi kemacetan, masak sih harus ditambah lagi penderitaannya dengan menyaksikan ‘perang’ di antara dua kubu dalam rencana proyek monorel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H