Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Politik

DPD dan Sistem Bikameralisme Banci

26 Juni 2015   11:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:43 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Irman Gusman tersenyum lepas usai Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD membacakan amar putusan atas permohonannya, Rabu (27/3/2013) siang. Dalam putusan No.92/PUU-X/2012 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), MK menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Irman sebagai Ketua DPD beserta dua wakilnya, La Ode Ida dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas.

Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa seluruh ketentuan UU MD3 dan UU P3 yang telah mereduksi atau mengurangi kewenangan DPD sebagaimana dimaksudkan pada saat DPD dibentuk dalam konstitusi haruslah dinyatakan inkonstitusional. Begitu pula terhadap Penjelasan Umum dan penjelasan pasal demi pasal kedua UU tersebut yang terkait dengan kewenangan konstitusional DPD, harus pula dianggap menyesuaikan dengan pemahaman atau penafsiran yang diberikan oleh MK.

Pada prinsipnya, MK telah memperkuat kewenangan konstitusional DPD dalam tiga aspek. Pertama, kewenangan DPD dalam mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan daerah. Kedua, kewenangan DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan daerah. Ketiga, keterlibatan DPD dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Keputusan MK menjadi tonggak sejarah dalam perjalanan DPD. Butuh waktu sembilan tahun setelah terbentuk bagi DPD untuk mendapatkan pengakuan sebagai lembaga yang sejajar dalam parlemen di Indonesia. Namun, hingga kini di usianya yang ke-11 atau dua tahun setelah amar putusan MK, penguatan DPD sebagai salah satu kamar di parlemen kita tak kunjung terwujud. Perjuangan panjang masih harus dilakukan oleh para Senator di DPD.

Kilas Balik Perjalanan DPD-RI

Tumbangnya Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun pada tahun 1998 membawa banyak perubahan dalam ketatanegaraan kita. Setelah sukses menyelenggarakan pemilihan umum 1999, MPR/DPR bekerja keras menyusun agenda reformasi melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan penyusunan berbagai perundang-undangan baru.

MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Presiden bukanlah mandataris MPR melainkan dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Sebagai upaya reformasi lembaga legislatif serta mengakomodir hilangnya Utusan Daerah di MPR, maka dibentuklah DPD. Lembaga baru ini dirancang sebagai tandem DPR di parlemen. Keduanya pun menjadi unsur pembentuk MPR.

Orde baru memiliki corak yang sangat khas yakni otoritarian dan sentralistik. Hubungan pusat dan daerah tak ubahnya komando seperti dalam militer. Faktanya, pimpinan eksekutif di daerah (gubernur, bupati dan walikota) sebagian besar diisi oleh pejabat militer. Dwifungsi ABRI menjadi justifikasi kala itu.

Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah pun amat tidak sebanding. Seluruh kekayaan daerah terutama hasil eksplorasi sumber daya alam dibawa ke pusat dan tidak ada bagi hasil yang jelas. Belum lagi pertumbuhan yang tidak merata dengan lebih menitikberatkan di Jawa.

Semangat reformasi 1998 bertolak belakang dengan kondisi tersebut. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah mulai digaungkan. Hubungan koordinasi maupun perimbangan keuangan antara pusat dan daerah juga dikoreksi. Keberadaan DPD dipandang penting menjembatani kepentingan daerah di pusat.

Akan tetapi, sejak awal sudah disadari betapa DPD sebagai ancaman bagi saudara tuanya DPR. DPD dikhawatirkan akan jauh lebih populis ketimbang partai politik dan anggotanya di parlemen, sehingga untuk mencegahnya dilakukan proses pengekangan sejak dipersiapkan. Ibarat bayi prematur dari rahim gerakan reformasi, kelahiran DPD memang tidak diharapkan.

Pelan tapi pasti kekhawatiran itu terbukti. Meski dibatasi dalam banyak hal, DPD mampu menunjukkan eksistensinya (seperti tergambar dalam infografik di bawah). “Saya kira lumayan untuk lembaga yang usianya 11 tahun, apalagi dibanding saudaranya yang sudah hampir 70 tahun,” demikian ungkap Irman Gusman di acara Kompasiana Tokoh Bicara ‘Saatnya DPD-RI Didengar’, Kamis (19/6/2015) yang lalu di Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun