[caption caption="Akankah Ahok mengikuti jejak Foke sebagai petahana yang tersingkir?"][/caption]
Munculnya beberapa nama sebagai bakal calon gubernur Jakarta –yang pemilihannya baru akan digelar dua tahun lagi—cukup menarik perhatian. Apakah ini sebagai pertanda ketidakpuasan terhadap Ahok?
Tepat satu dasawarsa lalu, demokrasi prosedural kita mencapai titik puncak ditandai dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Setahun sebelumnya, rakyat Indonesia telah memilih sendiri pemimpin republik ini. Pemilihan langsung (baik pilpres maupun pilkada) adalah perwujudan dari adagium terkenal : "vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan)".
Provinsi DKI Jakarta  baru pada 2007 menggelar pilkada, bertepatan dengan habisnya masa jabatan Sutiyoso untuk periode kedua. Fauzi Bowo yang saat itu merupakan wakil gubernur memutuskan maju untuk melanjutkan kerja Bang Yos. Konstelasi politik saat itu menguntungkan Foke. Semua partai politik kecuali PKS berada di belakangnya. Sedangkan PKS mengusung Adang Daradjatun dan Dani Anwar. Seperti diprediksi sebelumnya, Foke yang berpasangan dengan Prijanto melenggang mulus merebut suara terbanyak.
Jargon ‘Serahkan pada Ahlinya’ efektif memikat massa. Ketimbang memilih Adang Daradjatun yang berlatarbelakang polisi, warga Jakarta lebih memercayakan nasibnya kepada Foke. Pria berdarah Betawi-Jawa itu adalah birokrat karier hingga puncaknya ketika menjadi Sekretaris Daerah. Setelah itu ia dipilih sebagai wagub mendampingi Bang Yos. Ia juga merupakan master tata kota dari universitas di Jerman.
Selama lima tahun berkuasa, Foke gagal memenuhi ekspektasi publik. Kinerjanya dianggap tidak istimewa. Keputusannya menelantarkan proyek monorail yang digagas Bang Yos justru menjadi bumerang. Padahal, keputusan tersebut diambil melalui perhitungan yang matang dan terbukti langkah serupa kemudian diambil oleh suksesornya (baca: Joko Widodo). Fauzi Bowo juga dicap gagal dalam mengatasi masalah banjir yang menjadi tamu rutin setiap musim hujan.
Pilkada 2012 menjadi bukti bahwa pesta demokrasi tersebut merupakan arena penghakiman rakyat kepada pemimpinnya. Foke kehilangan banyak suara pendukungnya. Jokowi-Basuki yang menjanjikan ‘Jakarta Baru’ dipercaya memimpin ibukota untuk periode 2012-2017, melalui pertarungan ketat pilkada dua putaran. Popularitas yang terus melambung berpengaruh terhadap langkah politik Jokowi. Ia ‘ditugaskan’ PDI Perjuangan untuk berkompetisi di pilpres 2014 lalu. Pilihan rakyat dan takdir Tuhan kemudian mengantarkannya ke Istana.
Sesuai peraturan, maka Basuki otomatis menjadi gubernur Jakarta hingga akhir masa jabatan. Baru setahun memimpin ibu kota, Ahok kian akrab dengan kontroversi. Tidak sedikit kalangan yang mulai antipati kepadanya. Sejumlah tokoh bahkan terang-terangan ingin menantang Ahok di pilkada 2017 nanti.
Nama Sandiaga Uno santer disebut-sebut bakal diusung oleh Partai Gerindra. Selain Sandiaga, ada juga Fadli Zon dan Ridwan Kamil yang kemungkinan dijagokan partai pimpinan Prabowo Subianto itu. Partai besar lain seperti PDIP dan Golkar belum mengerucutkan pilihan pada satu atau dua nama. Ada juga Adyhaksa Dault yang sudah mendeklarasikan diri akan maju walaupun belum tahu akan menggunakan partai apa sebagai kendaraan politiknya.
Berbeda dengan Adhyaksa yang menggelar acara deklarasi di hotel berbintang lima, urbanis Marco Kusumawijaya justru memilih media sosial Facebook sebagai wahana penyampaian sikap politiknya. Melihat rekam jejak yang tidak pernah bersinggungan dengan parpol, tokoh yang sempat disebut ‘Si Marco’ oleh Ahok ini tampaknya akan maju melalui jalur independen.
Mencari yang Berbeda
Semakin banyak kandidat, maka semakin baik bagi warga Jakarta. Mereka tinggal memilih siapa yang terbaik dari para calon yang ada. Sekali lagi, warga berkesempatan untuk mengevaluasi petahana. Jika memang Ahok dianggap memuaskan oleh mayoritas konstituen, niscaya suara terbanyak tidak akan sulit diraih. Sebaliknya, Ahok berpotensi mengekor jejak Foke apabila warga tak puas.