Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Politik

Alasan Saya Tidak Memilih Capres (eks) Militer

7 April 2014   18:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Dikotomi sipil-militer sepertinya masih terus menjadi wacana menarik dalam konteks calon presiden dan wakil presiden di Indonesia. Padahal, latar belakang kandidat hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor penentu keberhasilan seorang pemimpin negara.

Dua nama yang paling dijagokan untuk menjadi RI 1 saat ini adalah Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Kebetulan, dua tokoh ini merepresentasikan sipil dan militer. Siapa lebih baik? Keduanya tentu memiliki kelebihan dan kekurangan.

Sejujurnya, saya tidak mendukung pencapresan Jokowi. Sebagai warga Jakarta, saya ingin beliau menuntaskan pekerjaannya. Lantas, apakah saya mendukung Prabowo? Tidak. Alasannya cukup kompleks, perkenankan saya menjabarkannya dengan lebih panjang. Sebelummnya saya ingin mengingatkan, tulisan ini didasari pertimbangan yang sangat personal dan subyektif.

Penolakan saya terhadap militer tidak didasari pada alasan yang berat-berat seperti represivitas dan pelanggaran HAM. Sikap saya terbentuk justru dari pengalaman-pengalaman kecil dalam kehidupan keseharian.

Sudah cukup lama saya menahan untuk tidak menulis dengan tema seperti ini. Menurut saya, tidak relevan mempertentangkan sipil dengan militer. Setiap siapapun kita memiliki peran dan fungsi masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya juga tidak mau terjebak pada pemahaman yang salah soal supremasi sipil, bahwa sipil lebih super dari militer.

Kejadian di jalan pagi ini yang akhirnya membuat saya menulis artikel ini. Tadi pagi, di jalan tol saya bersisian dengan sebuah truk militer dikawal satu motor besar. Tertulis jelas dari kesatuan mana mereka berasal. Alih-alih menunjukkan kedisipilinan berlalu lintas, rombongan ini terus saja merangsek membelah jalan. Mobil-mobil yang waras tentu saja mengalah, termasuk saya. Kejadian seperti ini bukan baru pertama saya alami, tapi sudah berulang kali.

Kekonyolannya belum berhenti sampai di situ. Saat di gerbang tol, truk itu ternyata nyelonong saja tanpa membayar tarif. Bukankah di setiap gerbang tol itu ada sensor elektronik yang memindai setiap kendaraan yang lewat? Jadi, beban tarif itu harus ditanggung oleh petugas loket dong? Untung cuma satu truk yang lewat, bayangkan kalau iring-iringannya sampai belasan atau puluhan mobil.

Memori saya jadi kembali ke belasan tahun lalu saat masih duduk di sekolah dasar. Beberapa kali saya mendapati prajurit TNI yang tidak bayar saat naik kendaraan umum. Kalau mereka menuntut hak gratis pada fasilitas negara tidak soal, tapi kalau membebani pengusaha atau rakyat kecil apa pantas?

Yang lebih menyebalkan lagi adalah sikap mereka yang seringkali arogan. Teman ibu saya mungkin hanya salah satu dari banyak korban keberingasan aparat. Lantaran soal sepele, yaitu menyalip motor di jalan, teman ibu saya dihajar dengan helm sampai berdarah-darah. Tragis. Jika pada persoalan seperti itu saja mereka tidak segan meneror, apalagi untuk hal lain yang melibatkan resources tertentu.

Pangkal persoalannya boleh jadi lantaran doktrin superioritas militer yang terinternalisasi dalam pola pendidikan mereka selama ini. Jangan heran jika Prabowo sempat melontarkan lelucon konyol : “masak singa dipimpin kambing?”.

Luar biasa sekali doktrin tersebut, sampai menempel ketika status militer pun sudah mereka tanggalkan. Kalau bisa berpikir dengan akal sehat, memangnya purnawirawan seperti Prabowo itu bukannya sipil?

Dari lubuk hati yang paling dalam, saya tidak bermaksud membenci militer. Kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak saudara-saudara kita yang menjadi prajurit mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk kedaulatan negara. Tengok saja para prajurit yang hidup dengan berbagai keterbatasan mengawal perbatasan. Sementara pada saat yang sama, para jenderal bergelimang kemewahan.

Dengan berbagai pertimbangan di atas, saya bulatkan tekad untuk tidak memilih capres (eks) militer.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun