RW dan Pembangunan Berbasis MasyarakatÂ
Pelibatan masyarakat dalam pembangunan adalah sebuah keniscayaan. Hakikat dari partisipasi masyarakat adalah gerakan masyarakat untuk ikut andil dalam proses membuat keputusan, melaksanakan kegiatan, menikmati hasil, dan mengevaluasinya. Mengapa hal ini penting? Karena tujuan dari pembangunan yang telah dirancang, didanai, dan dilaksanakan itu adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Pascareformasi, perencanaan pembangunan mulai menyeimbangkan antara yang sifatnya top down dengan bottom up. Masyarakat diajak terlibat merencanakan pembangunan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).
Pelibatan masyarakat dalam pembangunan, khususnya di perdesaan mendapat momentum baik dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU tersebut berdampak signifikan pada postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) dan penyelenggaraan pemerintahan desa secara keseluruhan.
Desa kini mendapatkan Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Alokasi Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD).
Harus diakui dana desa dalam praktiknya belum berjalan sempurna. Praktik korupsi dan penyalahgunaan dana desa masih terjadi. Walakin, perlu diapresiasi juga atas tumbuhnya praktik baik dari pengelolaan dana desa. Dengan anggaran yang memadai, desa bisa memaksimalkan potensinya, antara lain melalui pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang pada gilirannya bisa mendatangkan Pendapatan Asli Desa (PAD).
Jika desa, dengan segala keterbatasannya saja bisa berkembang lewat pemberdayaan masyarakat, seharusnya demikian juga di perkotaan. RW bisa diperankan selayaknya desa. Oleh karena itu, tawaran yang disampaikan Ridwan Kamil cukup menarik. Secara ruang fiskal pun masih masuk akal untuk ukuran Provinsi DKI Jakarta. Hanya saja, alokasi dana RW perlu dirumuskan dengan seksama. Bukan sekadar pemanis untuk memikat hati para pengurus RW.
Selama ini, uang operasional RT/RW (apapun sebutannya) terlanjur menjadi janji politik yang dilontarkan para politisi di masa pilkada. Angkanya tidak bisa dibilang kecil, mencapai lebih dari 800 miliar per tahun atau setara satu persen APBD DKI Jakarta. Sedangkan dampaknya bagi pemberdayaan masyarakat nyaris tidak terasa.
Pengalokasian anggaran RW hendaknya tidak menjadi tujuan akhir, melainkan awal dari proses transformasi pembangunan partisipatif di Jakarta. Bukan cuma bagi segelintir pengurus RW, tapi harus berhasil pula membangun keterlibatan warga (civic engagement) secara lebih luas.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H