Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Loyalitas, Haruskah Tanpa Batas?

14 Juni 2023   13:13 Diperbarui: 14 Juni 2023   18:45 3424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pegawai. (sumber gambar: pexels.com)

Pernah dengar istilah 'loyalitas tanpa batas'? Pasti pernah dong ya. Apa iya, loyalitas harus tak berbatas?

Loyalitas menurut KBBI artinya kepatuhan; kesetiaan. Kalau kepatuhan kepada Tuhan, jelas mutlak tidak berbatas. Ketika kita ingin dikategorikan hamba yang bertaqwa, kita harus menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Tidak bisa ditawar.

Bagaimana kalau loyalitas ke sesama manusia, katakalah kepada atasan? Saya pribadi memilih untuk memberi batasan pada loyalitas. Apalagi saya tidak bekerja di instansi militer yang menganut prinsip garis komando.

Lantas, apa batasannya? Loyalitas saya dibatasi pada profesionalitas. Jadi saya tidak menempatkan kesetiaan saya kepada personal pimpinan, tetapi kepada institusi tempat saya bekerja. Pimpinan di sini mulai dari yang 'es melon' sampai pucuk tertinggi ya.

Boleh jadi gegara ini sempat ada yang ngrasani saya tidak loyal. Walaupun itu dibantah oleh atasan langsung saya. Ya, karena beliau yang tau betul bagaimana sikap saya sehari-hari.

Loyalitas saya memang dibatasi profesionalitas, tapi bukan berarti saya juga tidak punya hubungan personal yang baik dengan atasan-atasan saya. Sampai hari ini saya masih menjalin relasi yang cukup dekat dengan beberapa mantan atasan.

Bagaimana kalau dengan gubernur, orang nomor satu di kantor saya? Tidak jauh berbeda. Sejak pertama kali jadi PNS pada 2010, saya bertugas di Balai Kota. Bisa dibilang dekat dengan lingkaran kekuasaan. Namun, saya sama sekali tidak tertarik memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Saya berusaha untuk menjaga jarak, sehingga bisa tetap obyektif.

Tangkapan layar Kompasiana, dokpri
Tangkapan layar Kompasiana, dokpri

Pada dasarnya saya adalah orang yang kritis terhadap berbagai hal, khususnya terkait dengan kebijakan publik di Jakarta. Hal itu berangkat dari kecintaan yang sangat besar terhadap kota ini. 

Buat saya, bekerja sebagai ASN Pemprov DKI Jakarta bukan sekadar menggugurkan kewajiban, menerima hak (baca: gaji), lalu selesai. 

Lebih dari itu, saya ingin keberadaan saya memiliki arti untuk Jakarta. Langsung aja deh kita cerita dari satu gubernur ke gubernur berikutnya. 

Era Foke

Saya diterima sebagai CPNS di era kepemimpinan Fauzi Bowo. Beliau adalah gubernur pertama Jakarta yang berasal dari birokrat. Merintis kariernya di Pemprov DKI Jakarta, bisa dibilang Foke sudah khatam beragam persoalan Jakarta.

Dengan latar belakang seperti itu, Foke agak sulit dikritik. Ia juga terkenal galak dengan media. Meski begitu, saya tetap berani mengkritisi. Kritik saya sampaikan secara internal melalui rapat-rapat pada kebijakan yang memang dirumuskan dari unit tempat saya bertugas. Kadang saya juga suka nekat menulis di media sosial atau di Kompasiana.

Alhamdulillah nggak pernah ada masalah sih. Malah, di ujung periode jabatan Foke, ada salah satu pejabat teras yang meminta saya ikut mengawal khusus Pak Foke keliling ke sejumlah lokasi.

Jokowi-Ahok-Djarot

Sayangnya, Fauzi Bowo kalah di pilkada 2012. Ia digantikan Joko Widodo yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama. Di era Jokowi mungkin fase saya paling tidak kritis. Selain karena masa jabatannya paling singkat --Jokowi ikut pilpres 2014---kebijakan beliau juga relatif paling sejalan dengan nilai-nilai yang saya pegang.

Nah, begitu BTP jadi Gubernur Jakarta itu saya pas lagi galak-galanya. Terlebih lagi saat itu saya menyandang status sebagai mahasiswa pascasarjana, sedang bebas tugas karena tugas belajar. 

Bisa dilihat judul-judul tulisan saya di Kompasiana pun ngeri kali. Kalau dipikir-pikir songong juga, sudah dibayarin sekolah sama kantor, tapi malah mengkritisi gubernurnya. 

Pada masa Gubernur Djarot Saiful Hidayat saya mulai kalem lagi karena baru kembali ke kantor. Namun, tidak berlaku demikian ketika Anies Baswedan masuk ke Balai Kota.

Periode Anies

Kalau teman-teman cari di Kompasiana, memang tak ada satu pun artikel saya mengkritisi Anies, apalagi dengan keras. Mungkin karena sudah lebih matang, saya memilih jalur perjuangan yang berbeda. Saya mengkritisi secara langsung dan tidak langsung melalui anggota-anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).

Beberapa anggota TGUPP menjadi akrab dan teman diskusi yang menyenangkan. Nggak tau juga kalau sebagian di antaranya yang justru sebal sama saya. Hehe

Oh iya, ada cerita menarik nih (menurut saya). Salah satu kepala biro yang pernah jadi bos saya cukup nekat mengajak saya rapat terbatas dengan Pak Anies. Betul-betul terbatas, tak lebih dari 10 orang di ruang kerja Pak Anies.

Pak Anies memberi instruksi tentang satu hal tertentu. Seperti biasa, semua peserta rapat tentu saja mengatakan "Siap, Pak!" Tetiba suasana hening, gegara saya memohon izin untuk bicara dan memberikan argumentasi yang berbeda dengan gubernur. Apakah Pak Anies marah? Untungnya tidak.

Momen hampir serupa juga terjadi di kediaman pribadi Pak Anies --karena rapat dilakukan di hari libur---di bilangan Lebak Bulus. Kali ini dalam rapat yang lebih besar.

Sejak awal 2020, saya mendapat penugasan baru sebagai Humas Kota Administrasi Jakarta Pusat. Posisi baru ini membuat saya berpikir dua kali sebelum bicara atau menulis di ruang publik (media sosial sekalipun). Saya bisa saja menuliskan disclaimer bahwa ini adalah pendapat pribadi, tetapi tetap ada risiko dikaitkan dengan unit kerja saya.

Akan tetapi, bukan berarti kekritisan saya lantas dibelenggu. Saya masih menjalin komunikasi yang baik dengan teman-teman di TGUPP. Terbukti, saya masih diminta bergabung dalam tim perumus RUU Kekhususan Jakarta sejak 2022 lalu.

Sekarang dan Seterusnya

Nah, di era Pak Heru Budi Hartono sekarang, saya malah kembali bertugas di Balai Kota, juga memegang kehumasan. 

Kritik atau saran masih tetap akan saya sampaikan. Tentu lewat jalur yang memungkinkan, karena saya yang kroco ini kan tidak punya akses langsung ke Pj Gubernur.

Dekat ataupun jauh dari lingkaran kekuasaan buat saya sama saja. Saya tidak pernah mencoba mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi, atau sebaliknya dirugikan karena dicap 'orangnya' gubernur lama. 

Saya akan tetap menjadi pribadi yang merdeka --seperti di bio akun Kompasiana ini---bukan menjadi birokrat yang ABS (asal bapak senang).

Seorang birokrat yang loyal pada pimpinan seharusnya justru menghindari sikap ABS. Jika Anda loyal, sampaikan argumentasi yang benar, logis dan dapat dipertanggungjawabkan karena sejatinya itu justru melindungi pimpinan Anda dari kesalahan pengambilan kebijakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun