Suasana Balai Kota lain dari biasanya, Rabu (1/11) kemarin. Puluhan orang dari Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) diterima Gubernur Anies Baswedan dan jajarannya di ruang rapat Balai Kota. Mereka terlibat dalam rembuk membahas soal penataan kampung. Langkah ini berbeda 180 derajat dengan gaya gubernur sebelumnya.
"Bertukar gagasan penataan kampung dengan teman-teman Jaringan Rakyat Miskin Kota. Hari ini kita memulai sebuah proses rembukan dengan warga. Terima kasih teman-teman yang sudah memfasilitasi pertemuan ini. Pentingnya ke depan pembangunan Jakarta ini dengan gotong royong. Ini jangan dijadikan pertemuan pamungkas, ini pertemuan pertama. Kita akan melihat masalah dari berbagai perspektif, baru kita lanjutkan ke pembuatan kebijakan."
Demikian tulis Anies Baswedan sebagai caption menyertai pos beberapa foto di akun media sosialnya. Tampak suasana yang begitu akrab antara warga dengan para pejabat pemerintah. Mereka yang dulu kerap dimarjinalkan, kini mendapat tempat terhormat. Balai Kota benar-benar menjadi 'rumah rakyat'.
Beberapa hari sebelumnya, Anies juga menunjukkan keberpihakannya kepada warga di kawasan Bukit Duri. Alih-alih mengambil langkah banding, Anies justru mengaku siap untuk duduk bersama dengan warga Bukit Duri untuk menata kawasan tersebut.
Sikap serupa ditunjukkan wakil gubernur, Sandiaga Uno. Ia tampak berhati-hati mengambil tindakan dalam penanganan masalah PKL di Tanah Abang. Sandi dengan tegas melarang Satpol PP menyita barang dagangan pedagang. Selain mengedepankan pendekatan humanis, Sandi juga ingin semua pihak duduk bersama mencari solusi.
Apa yang ditunjukkan Anies-Sandi ini boleh jadi merupakan hal yang benar-benar baru bagi birokrasi Pemprov DKI Jakarta. Anies menunjukkan bahwa yang namanya 'partisipatif' jangan cuma jadi jargon, tetapi harus berupa tindakan nyata. Salah satunya dengan tidak menutup ruang dialog bagi semua kalangan.
Selama ini konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sering digaungkan. Akan tetapi dalam prakteknya, civil society tetap tidak mendapat proporsi yang layak dalam pengambilan kebijakan. Pemerintah merasa sebagai yang paling tahu, padahal pengetahuan yang tersebar di masyarakat demikian melimpah.
Saya jadi teringat dengan pidato yang disampaikan Anies di acara "Kumpul Masyarakat Kreatif, Digital, dan Perfilman" yang diselenggarakan Bukalapak pada Januari 2017 lalu. Boleh dibilang saat itu saya kepincut dengan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur ini lantaran gagasan yang mereka sampaikan. Kala itu, Anies menawarkan pendekatan kepemimpinan yang berbeda yaitu movement based leadership.
Anies waktu itu berjanji akan membuka ruang seluas-luasnya bagi semua pihak termasuk pelaku usaha dan masyarakat untuk ambil bagian. "Kalau bisa dianalogikan, kami tidak akan menjadi seperti ensiklopedia Britanica tapi lebih seperti Wikipedia," kata Anies.
Pesan yang disampaikan Anies lewat rembuk dengan teman-teman JRMK cukup tegas. Ia ingin dialog menjadi kultur baru di Pemprov DKI Jakarta sehingga perspektif yang dimiliki bisa lebih kaya. Birokrat mau tidak mau juga harus mengubah pola pikir mereka yang selama ini menganggap NGO/LSM sebagai 'duri dalam daging' menjadi mitra strategis.
Hanya saja, Anies-Sandi harus terus mengawal tindak lanjut dari pertemuan ini. Kalau dilepas begitu saja kepada birokrasi, biasanya akan terbentur banyak sekali dinding-dinding ketidakmungkinan. Semoga saja langkah awal ini bisa mewujudkan Jakarta yang maju kotanya, bahagia warganya