Mengapa stimulus? Ya uang Rp. 900 ribu per bulan memang tidak akan cukup untuk kerja bakti sewilayah RT, tapi setidaknya bisa digunakan untuk mendorong keswadayaan warga untuk turut ambil bagian. Selain untuk kerja bakti, mungkin bisa untuk membantu kebutuhan Posyandu, Karang Taruna, dan kebutuhan warga lainnya. Sayangnya tidak seperti itu yang terjadi.
Untuk bisa memastikan penggunaan uang operasional RT/RW untuk kebutuhan warga, seharusnya gubernur bisa menduplikasi kebijakannya soal uang reses DPRD. Tidak ada lagi pemberian dalam bentuk uang tunai, melainkan langsung dibelanjakan kebutuhan anggota dewan selama reses oleh Sekretariat Dewan.
Dengan pola seperti ini, maka kelurahan yang akan memberikan misalnya snack rapat RT/RW, snack kerja bakti, ATK RT/RW dan sebagainya. Kalau mau ekstrim, hentikan sekalian pemberian uang operasional. Walaupun risiko politisnya terlalu besar bagi gubernur.
Mewajibkan RT/RW mengirimkan laporan di Qlue justru menambah sesat pikir baru lagi. Kehadiran Qlue sejatinya adalah untuk menumbuhkembangkan partisipasi dan keterlibatan warga (civic engagement). Partisipasi idealnya tumbuh dari warga itu sendiri, karena kalau ada instrumen yang digunakan oleh pemerintah itu namanya mobilisasi.
Mengaitkan laporan di Qlue dengan uang operasional justru semakin membuat hubungan yang transaksional antara Pemprov DKI Jakarta dengan RT/RW sebagai representasi warga.
“Kemarin sih kita sudah sosialisasi itu, tapi memang tanggapannya kurang baik dari tokoh masyarakat RT/RW-nya, mungkin itu karena satu laporan Rp.10.000, yang kayak gitu mungkin bikin mereka agak sensitif. Sedangkan di sini kan menengah ke atas ya,” ungkap salah seorang lurah di wilayah Jakarta Selatan saat saya temui beberapa waktu lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H