Sebetulnya, kalau mau sedikit repot Pemprov DKI Jakarta bisa membuat kebijakan khusus terkait bis jemputan. Bukan cuma Pemprov DKI Jakarta loh yang punya bis jemputan pegawai, tetapi hampir semua instansi pemerintah (pusat). Melalui pengaturan, semua bis jemputan harus diperlakukan sama yaitu tidak boleh eksklusif untuk instansinya saja. Sebagai langkah awal, Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) mungkin perlu mendata instansi mana saja yang memiliki bis jemputan, berapa armadanya, dan ke mana saja rutenya. Jika ada rute yang bersisian dan daya tampungnya melebihi jumlah penumpang eksisting mungkin bisa dimerger, sehingga bisnya bisa digunakan untuk rute lain.
Boleh juga dipertimbangkan untuk ‘memaksa’ kantor-kantor swasta, khususnya di area seperti Sudirman-Thamrin-Kuningan, agar menyediakan bis jemputan karyawan. Jika kewajibannya dilekatkan kepada satu per satu perusahaan mungkin akan memberatkan. Tetapi tidak terlalu sulit jika setiap gedung yang diwajibkan menyediakan. Soal bagaimana pengelola gedung berurusan dengan tenant, biar dibebaskan saja. Termasuk kalau antara tenant dan pengelola gedung kemudian mau mengalihdayakan (outsorcing) kebutuhan bis jemputan ini. Rute-rute yang harus disiapkan juga fleksibel sesuai kondisi dan kebutuhan di setiap gedung, namun harus di bawah koordinasi Dishubtrans. Jam berangkat dan pulang idealnya dibedakan dengan bis jemputan PNS, sehingga mengurangi beban jalan pada peak hours.
Pak Ahok juga mengatakan kalau bis jemputan tidak boleh hanya digunakan pada saat mengantar dan menjemput, melainkan mengangkut penumpang di siang hari. Logikanya, beban puncak jalan dan angkutan itu ada di pagi dan sore hari. Ada peningkatan di jam makan siang, tapi eskalasinya tidak sebanding dengan pagi dan sore. Sehingga tidak efisien mengoperasikan banyak bis ketika jumlah penumpangnya justru menurun. Apalagi kalau menggunakan mekanisme pembayaran rupiah per kilometer. Kecuali kalau Pak Ahok memang bermurah hati membagikan ‘kue’ APBD kepada operator bis tetapi tidak sesuai kebutuhan rakyat.
Selama ini tidak seimbangnya supply and demand transportasi di ibukota ditutupi oleh 'kreativitas' warga, semisal mobil omprengan maupun ride sharing seperti komunitas Nebengers. Pemerintah daerah seharusnya tidak boleh kalah kreatif. Kalau ada peraturan yang bertentangan, perlu dilakukan penyesuaian. Pengaturan soal bis jemputan perlu dirumuskan dengan memperhatikan kebijakan makro transportasi, sehingga keberadaannya efektif dan efisien serta berkontribusi dalam mengurai kemacetan di Jakarta.
Â
Joglo, 26 Januari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H