Kemarahan gubernur Basuki Tjahaja Purnama membuncah mendengar kabar soal penyimpangan di bis jemputan pegawai. Ia tak mau lagi bis jemputan diperuntukkan eksklusif bagi PNS DKI Jakarta. Pengelolaannya akan diserahkan pada PT. Transjakarta.
[caption caption="Bus jemputan di salah satu kantor walikota. (sumber foto : www.beritajakarta.com)"][/caption]
Saya bisa maklum dengan kemarahan Pak Ahok. Walaupun tidak pernah merasakan sendiri –karena belum pernah naik bis jemputan pegawai—saya pernah mendengar cerita teman-teman yang mengalami perundungan (bullying). “Pokoknya lo harus hati-hati kalau nanti mau naik bis jemputan, jangan asal duduk aja harus tanya dulu kursi itu sudah ada yang punya atau belum,” begitu pesan seorang teman. Wajar kalau teman saya berpesan begitu, dia sudah pernah didamprat pegawai senior lantaran ‘menduduki kursi miliknya’.
Soal iuran di bis juga sudah cerita lama, saya tidak bisa bercerita karena memang tak terlalu paham detailnya. Nah, kalau soal para ‘PNS pemburu jemputan’ yang buru-buru langsung pulang begitu pukul 16.00 saya tahu. Coba deh lewat di depan Balai Kota maupun kantor-kantor wali kota pada jam tersebut, suasananya tidak jauh beda dengan pada saat bubaran pabrik. Menurut saya hal ini bukan persoalan besar. Toh, jam kerja PNS Pemprov DKI Jakarta memang dari pukul 07.30 sampai 16.00 WIB.
Saya sendiri —sebelum menjalani tugas belajar sejak satu setengah tahun lalu— walaupun tidak menggunakan bis jemputan juga selalu tenggo (jam 4 teng langsung go) apabila sedang tidak ada pekerjaan yang urgent. Nah, yang jadi soal adalah kalau pada saat ada pekerjaan yang mendesak dan harus diselesaikan tapi si pegawai menolak dengan alasan takut ketinggalan jemputan. Hellooo, ini Jakarta Pak/Bu, angkutan umum ada sampai larut malam. Bahkan ada taksi yang siap mengantar ke mana saja 24 jam.
Saya sepakat kalau Pak Ahok ingin memperbaiki mekanisme bis jemputan pegawai ini. Mengikuti emosi sesaat, si bos sempat mengancam akan menghapus bis jemputan. Belakangan, ia mengubah sikapnya namun dengan sejumlah rencana perubahan. Bis jemputan rencananya tidak lagi ekslusif untuk PNS DKI, jam edarnya pun ditambah. Pengelolaan bis tersebut akan diambil alih oleh PT Transjakarta. Sayangnya, ada logika yang kurang lurus dari gubernur Basuki mengenai bis jemputan ini. Berikut ini ulasannya:
Bis Jemputan sebagai Bagian dari Sistem Transportasi Kota
Selain soal bullying, uang iuran, dan kebiasaan tenggo PNS DKI, ada satu poin lagi yang sempat membuat gusar Pak Ahok. Ia kesal karena pejabat eselon ikutan naik bis jemputan, padahal mereka sudah diberikan uang transportasi. Saya kurang bisa memahami mengapa Bapak Gubernur justru lebih senang para pejabat menggunakan kendaraan pribadi (atau mungkin taksi) ketimbang bis. Bukannya malah lebih baik kalau semakin banyak orang menggunakan bis? Secara tidak langsung akan mengurangi jumlah mobil yang beredar di jalan.
[caption caption="Data pertumbuhan jumlah kendaraan di Jakarta. sumber : BPS Jakarta"]
Kemudian soal rencana bis jemputan tidak lagi eksklusif untuk PNS DKI, saya rasa idenya cukup baik. Hanya saja kebijakan itu tidak bisa diterapkan dengan kondisi sekarang. Jangankan untuk mengangkut penumpang non-pegawai, untuk PNS DKI saja sudah tidak muat. Jangan heran kalau di beberapa bis tersebut ada yang memakai kursi plastik ala abang tukang bakso. Cara paling mudah ya dengan menambah jumlah bis maupun rutenya, sehingga dapat mengangkut lebih banyak lagi penumpang.