“Selamat kepada kalian para pegawai terpilih. Masa depan Jakarta ada di tangan kalian,” demikian sekilas sambutan yang disampaikan oleh perwakilan Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada saat pembekalan Pegawai Tugas Belajar (PTB) sekitar setahun yang lalu.
Dari sekitar 600 orang pegawai yang mendaftar, 63 orang di antaranya dinyatakan lulus sebagai PTB pada tahun 2013. Sebanyak 60 orang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana, sedangkan 3 lainnya akan menempuh studi S1.
Seleksi yang dilakukan sangat ketat melalui lima tahap. Mulai dari seleksi administrasi, psikotes 1 dan 2, Tes Potensi Akademik (TPA) hingga wawancara. Setiap tahap menggunakan sistem gugur. Sehingga bagi yang tidak lulus psikotes, tidak akan disertakan dalam TPA dan selanjutnya.
Setelah dinyatakan lulus, para calon PTB ini harus mengikuti seleksi eksternal di masing-masing universitas yang diminati. Meski ada kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dengan 11 Perguruan Tinggi Negeri, semua PTB tetap harus mengikuti tes sebagaimana calon mahasiswa lainnya.
Mungkin banyak pembaca yang tidak familiar dengan istilah “Tugas Belajar”, kecuali yang berprofesi sebagai birokrat juga. Tugas Belajar adalah penugasan dari instansi masing-masing kepada pegawai untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Selain dijamin pembiayaannya, PTB juga dibebastugaskan dari pekerjaan kantor sehari-hari (meskipun ada beberapa instansi yang meminta pegawainya tetap bekerja).
Tugas belajar bukan merupakan hak yang melekat kepada setiap PNS, tetapi adalah hak bersyarat karena tugas belajar hanya diberikan kepada PNS terpilih baik dari segi akademis maupun administratif.
Kami pun bangga pada saat terpilih sebagai PTB. Selain melihat potensi untuk mengembangkan kompetensi, Pemprov DKI Jakarta juga memberikan reward sepadan berupa biaya penunjang pendidikan yang nilainya lebih besar dibanding Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) yang kami terima pada saat itu.
Euforia itu ternyata hanya sesaat. Setelah dinyatakan lulus di UI (sebagian teman-teman lain ada juga yang di luar kota), kami langsung direpotkan dengan biaya kuliah. Lantaran anggaran dari Pemprov belum turun, kami harus menalangi dulu dengan uang sendiri. Informasi ini memang sudah disampaikan pada saat pembekalan, sehingga kami tidak terlalu kaget dan sempat menyisihkan tabungan.
Seiring berjalannya perkuliahan, anggaran biaya penunjang pendidikan tak kunjung keluar. Walhasil, kami pun harus “gali lubang, tutup lubang” untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk diketahui, selama tugas belajar TKD kami distop dan hanya menerima gaji pokok yang nilainya sekitar Rp.2,5 juta. Bahkan ada juga yang gajinya dipotong karena memiliki cicilan kredit di Bank DKI. Dengan bujet tersisa, PTB harus bisa menyiasati kebutuhan kuliah sekaligus menjaga dapur keluarga tetap mengepul.
Tunjangan pendidikan akhirnya baru dibayarkan menjelang semester ganjil usai (Desember). Tentu saja prioritasnya adalah menutup kebutuhan sepanjang semester berjalan, serta menyiapkan pembayaran kuliah semester berikutnya. Dengan uang tersisa, entah bagaimana caranya harus bisa untuk memenuhi kebutuhan di semester genap. Sebagai birokrat, kami juga paham bahwa anggaran di DKI tidak mungkin bisa keluar di awal tahun karena mekanisme penetapan APBD membutuhkan waktu.
Peruntungan di semester genap ternyata tidak lebih baik. Hingga semester selesai, bahkan nilai-nilai ujian sudah keluar dan kami diliburkan (sejak akhir Juni), uang tunjangan belum juga cair. Polemik APBD antara eksekutif dengan DPRD dijadikan alasan mengapa proses pencairan anggarannya menjadi molor sedemikian lama.