Peristiwa tewasnya Deudeuh Alfi Syahrin alias Tata beberapa waktu lalu berimbas panjang. Kejadian tersebut ibarat puncak gunung es masalah prostitusi di Jakarta. Pihak-pihak terkait dibuat kalang kabut. Reaksi sesaat langsung ditunjukkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya yang melakukan razia serta penggerebekan.
Belum habis keterkejutan publik akibat kematian Tata, Polisi membongkar prostitusi online yang mengambil tempat di Apartemen Kalibata City. Ironisnya, beberapa wanita yang terjaring operasi tersebut masuk kategori di bawah umur. Pengawasan terhadap rumah kos dan apartemen diakui relatif lebih sulit ketimbang kawasan permukiman konvensional.
Tak ingin kecolongan lagi, Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama menawarkan wacana lama yang cukup kontroversial, yaitu lokalisasi. Pro dan kontra sudah pasti muncul akibat ide ini. Dan memang itu yang diinginkan Ahok, karena ia ingin menjaring aspirasi dan masukan dari masyarakat Jakarta.
"Saya katakan Anda hanya bilang melarang, solusi Anda apa? Saya punya solusi, tinggal Anda mau terima atau enggak. Kita sama-sama saja, enggak usah caci maki. Anda jangan cuma ngomong, solusi Anda apa? Kalau Anda enggak setuju solusi saya, ya sudah enggak apa-apa, silakan Anda berpolemik. Saya juga enggak mungkin maksa kok," begitu ujarnya seperti dirilis Kompas.com.
Well, saya tidak berpretensi membela atau mencela Ahok. Saya justru berniat membantu bos saya ini untuk menampung sebanyak-banyaknya ide dan masukan dari siapapun untuk bisa menyelesaikan masalah laten ini. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya hanya akan menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari keberadaan lokalisasi.
Mengapa Lokalisasi Diperlukan?
"Prostitusi itu sejarahnya hampir sama dengan peradaban manusia, hanya kadang-kadang kita munafik saja,” kata Djarot Saiful Hidayat. Pernyataan wakil gubernur itu cukup menohok. Tapi, sulit juga membantahnya karena memang faktanya demikian. Jakarta tidak punya lokalisasi, tapi prostitusi merajalela secara terselubung (berkedok panti pijat, spa, karaoke, club, dll) maupun terang-terangan (via twitter, bbm grup, dll).
Tidak terhitung betapa banyaknya panti pijat, spa, karaoke dan klub malam yang sekaligus menjadi tempat esek-esek di ibukota. Jika dulu praktek mesum seperti itu hanya identik dengan beberapa kawasan (misalnya Mangga Besar), sekarang ini penyebarannya sangat masif hingga ke daerah pinggiran bahkan di kawasan permukiman.
1.Dengan menempatkan para Pekerja Seks Komersial (PSK) di satu tempat, diharapkan prostitusi tidak lagi tersebar luas di seluruh penjuru kota. Mekanisme penyaringan terhadap pengunjung juga lebih mudah dilakukan. Anak di bawah umur jelas tidak diperkenankan masuk area tersebut. Kepada pihak-pihak yang menentangnya, Ahok mengatakan sindiran bernada sair. “Mungkin nanti di (area) lokalisasi kita juga tulis begitu kok, yang merasa suci enggak boleh masuk, gitu loh. Enggak apa-apa, gitu loh. Ya kenapa tidak boleh?”, kata mantan Bupati Belitung Timur itu.
2.Secara normatif, penyebaran virus HIV/AIDS pun bisa dikontrol karena para PSK harus dites kesehatannya secara periodik. Namun, apabila yang bersangkutan terdiagnosa HIV/AIDS dan kemudian menjajakan diri di luar prostitusi tentu saja asumsi di atas menjadi tidak berlaku.
3.Kalau mau sedikit berpikiran materialistis, bisnis prostitusi bisa juga dijadikan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menetapkan pajak yang tinggi bagi para pelaku usaha tersebut. Selama ini, potensi pendapatan justru diraup oleh ormas-ormas tertentu atau segelintir oknum dari instansi formal yang menawarkan 'jasa keamanan'.
4.Praktek penjualan manusia (human traficking) bisa diminimalisasi. Karena bisnis esek-esek ini sudah bukan ilegal, maka pemantauan dan pembinaan dari aparat seharusnya bisa lebih maksimal.
Ini Lho Mudarat Lokalisasi
Keberadaan lokalisasi memang menjanjikan sejumlah manfaat, tapi tidak sedikit juga mudarat yang dihadirkan, antara lain :
1.Dampak sosial keberadaan lokalisasi terhadap kawasan sekitar tidak terhindarkan. Sepertinya sulit mencari lokasi di mana masyarakat sekitarnya bisa menerima keberadaan lokalisasi. Kecuali, kalau lokasi tersebut sama sekali steril dari masyarakat umum.
2.Menyediakan lokalisasi sama artinya dengan melegalkan bisnis yang secara norma agama dan budaya tidak dibenarkan.
3.Keberadaan lokalisasi tidak menjamin praktek prostitusi terselubung akan hilang. Dari sisi permintaan (demand), penggemar esek-esek di Jakarta cukup besar. Maka, apabila kapasitas lokalisasi (baca: supply) tidak sebanding, niscaya prostitusi underground akan tetap eksis.
4.Lokalisasi bukan jawaban atas masalah prostitusi online. Ada atau tidak ada lokalisasi tidak berpengaruh karena para pelakunya bertransaksi di ruang maya.
Kuningan Timur, 28-04-2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H