Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakatnya yang sangat tinggi dan tingkat pluralitas sosial sangat kompleks. Clifford Geertz (1996) mengakui sulit melukiskan anatomi Indonesia secara persis. Ia menggambarkan Indonesia sebagai sejumlah ‘bangsa’ dengan ukuran, makna dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religius atau semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama.
Di sinilah Taman Mini Indonesia Indah (TMII) memainkan peran. Pengunjung yang datang ke sana bisa melihat keanekaragaman tersebut yang diejawantahkan oleh anjungan-anjungan yang merupakan representasi setiap daerah di Indonesia. Munculnya provinsi hasil pemekaran (Banten, Gorontalo, Kepulauan Riau, dll) direspon TMII dengan membangun anjungan-anjungan baru tersebut. Praktis, hanya Kalimantan Utara yang saat ini belum memiliki anjungan. Hal ini wajar karena provinsi tersebut baru ditetapkan pada tahun 2013.
Bahkan, TMII juga punya anjungan bernuansa Tionghoa. Nama resminya adalah Taman Budaya Tionghoa (TBT) Indonesia. Â Dengan adanya TBT, TMII telah berusaha mengikis jurang pemisah di antara pribumi dan warga negara keturunan. Selain menampilkan keanekaragaman suku dan etnis melalui anjungan daerah, TMII dengan cermat juga menghadirkan pemahaman bahwa masyarakat Indonesia hidup dalam perbedaan agama dan keyakinan melalui penyediaan fasilitas ibadah untuk keenam agama yang ada.
Tak terasa TMII pada 2015 ini akan berulang tahun ke-40. Di usianya yang terbilang tidak muda lagi, TMII sejatinya masih memegang peran penting dalam merajut kebinekaan Indonesia. Semboyan negara kita Bhinneka Tunggal Ika sering kali hanya terdengar sebagai jargon yang maknanya tidak diresapi sungguh-sungguh. Padahal, pengalaman mengajarkan, bahwa bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal-ika) yang paling potensial untuk bisa melahirkan persatuan yang kuat, melainkan pengakuan adanya pluralitas (bhinneka), dan kesediaan untuk menghormati kemajemukan bangsa Indonesia.
Di tengah fenomena globalisasi saat ini, nasionalisme menjadi hal abstrak yang semakin kehilangan relevansinya. Jika tidak melakukan apa-apa gejala disintegrasi bangsa bukan tak mungkin akan terjadi. Apalagi ketika konflik yang berpangkal dari faktor-faktor etnik, suku dan agama terus terjadi. Maka, agenda penting yang harus dilakukan adalah menumbuhkembangkan konsep masyarakat multikultural (multicultural society), yang berbeda dengan konsep masyarakat majemuk (plural society).
Pada masyarakat majemuk, titik beratnya adalah pada keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya. Sedangkan multikulturalisme dikembangkan dari konsep pluralisme budaya dengan menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat (Suparlan, 2005 : 98). Multikulturalisme ini mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat (Azra, 2006 : 154).
Keberadaan anjungan daerah di TMII merupakan refleksi dari multikulturalisme. Dengan membawa nama Taman Mini Indonesia Indah, kita sekaligus disadarkan bahwa corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sekadar keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Dirgahayu TMII, semoga keberadaannya semakin memberi kontribusi berarti bagi kejayaan Indonesia
Penulis menggunakan kata ‘kebinekaan’ karena sudah termuat di Kamus Besar Bahasa Indonesia, sedangkan untuk semboyan negara tetap menggunakan penulisan Bhinneka.
Sultan Hamengkubuwono X, 2007, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hal.67
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H