Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Monorel Jakarta: Semoga Bukan Dagelan

26 Februari 2014   17:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_324818" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Transisi kepemimpinan dari Sutiyoso ke Fauzi Bowo telah menyebabkan mandeknya proyek monorel (kereta rel tunggal) di Jakarta. Tiang-tiang yang kadung dibangun teronggok begitu saja merusak pemandangan ibukota.

Terpilihnya Joko Widodo sebagai suksesor Foke memunculkan harapan baru dilanjutkannya proyek ini. Sejak masa kampanye, eks Wali Kota Solo ini memang berjanji akan melanjutkan proyek pembangunan transportasi massal seperti MRT dan monorel.

Dalam beberapa hari terakhir, monorel kembali ramai diperbincangkan. Pembangunan yang digembar-gemborkan tidak terlihat di lapangan. Proyek ini kembali jalan di tempat. Tanpa bermaksud mencari siapa yang benar dan salah, mari kita flashback sejarah pembangunan monorel di Jakarta.

Gagasan pembangunan moda transportasi masa depan ini sebetulnya muncul lebih dari satu dasawarsa lalu. Pada 2003, PT Indonesia Transit Central, konsorsium yang terdiri dari PT Adhi Karya, PT Global Profex Sinergy dan PT Raidant Utama memprakarsai pembangunan monorel.

Konsorsium ini lantas menggandeng Mtrans Holding dari Malaysia lantaran perusahaan tersebut sukses membangun moda serupa di negeri jiran. Konstruksi pun segera dikerjakan dengan membangun tiang-tiang pancang pada 2004. Tiang pertama diresmikan oleh Presiden RI saat itu, Megawati Soekarnoputri pada 14 Juni 2004.

“Dan pada hari ini saya bisa canangkan peletakan batu pertama sistem monorel. Diharapkan dua tahun pembuatan dan kalau semua planning matang, maka Insya Allah tahun 2006 monorel sudah bisa digunakan,” demikian sambutan Bu Mega. Beliau juga mewanti-wanti Sutiyoso agar mengawal proyek ini dengan serius.

Uniknya, hanya dua minggu berselang (tepatnya 31 Juni 2004) proyek ini dialihkan ke konsorsium PT Jakarta Monorail dan Omnico Singapura. Setahun berjalan, PT Omnico gagal menyetor modal yang disepakati. Proyek ini pun terhenti di 2005. Sebagian tiang pancang yang sudah jadi dibiarkan begitu saja.

Tak mau malu, Sutiyoso dengan amat gigih terus mengupayakan keberlanjutan monorel. Medio Februari 2006, Bang Yos mendapat kabar gembira bahwa investor dari Dubai yang siap membantu secara finansial. Konon, mereka akan menggelontorkan dana mencapai Rp 4,6 triliun.

Masih larut dalam euforia, Bang Yos panik manakala Dubai Islamic Bank meminja jaminan keamanan dananya kepada Pemerintah RI. Sutiyoso segera saja (5 Juni 2006) bersurat kepada Menteri Keuangan RI, yang saat itu dijabat oleh Sri Mulyani.

‘Surat cinta’ itu baru dibalas pada Agustus 2006. Jawabannya pun menyakitkan: TIDAK. Menkeu beralasan Pemerintah RI tidak menjamin proyek yang dibangun oleh swasta. Sutiyoso pun cuma bisa gigit jari, hingga berakhir masa jabatannya.

Estafet kepemimpinan ibukota dilanjutkan oleh Fauzi Bowo, yang sebelumnya menduduki posisi wakil gubernur di era Bang Yos. Pria asli Betawi ini adalah gubernur pertama yang dipilih langsung oleh warga Jakarta, pada pilkada 2007.

Walaupun sebelumnya adalah anak buah Bang Yos, Foke tidak serta merta mengamankan kebijakan mantan atasannya. Pemegang gelar Doktor Ingeniur dari Jerman itu mungkin punya perhitungan sendiri, bahwa proyek ini tidak cukup layak untuk diteruskan.

Pada 2010, Foke muncul dengan gagasan baru. Alih-alih meneruskan monorel, ia lebih memilih mengembangkan elevated bus rapid transit (BRT) alias jalur bus layang. Dalam perhitungannya, proyek ini jauh lebih murah dan efisien.

Pembangunan elevated BRT diyakini adalah jalan tengah, agar tiang-tiang yang sudah dibangun tidak mubazir. Konsep ini tak jauh beda dengan busway yang sudah ada di Jakarta, hanya saja dengan jalur yang dipastikan steril karena di jalan layang khusus. Elevated BRT sebelumnya sukses diterapkan di Xiamen, China.

Nah persoalannya, PT Jakarta Monorail tidak rela ‘pekerjaannya’ diambilalih karena merasa sudah mengeluarkan inventasi. PT JM kemudian meminta ganti untung sebesar Rp. 600 miliar ke Pemprov DKI. Angka ini jauh sekali dari estimasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yaitu Rp.204 miliar. Jelas saja Foke tak sudi membayar sampai tiga kali lipat.

Setelah sekitar delapan tahun mangkrak, proyek ini dinyatakan akan dilanjutkan oleh Jokowi. Bahkan, dilakukan kembali groundbreaking pada 16 Oktober 2013. Empat bulan berjalan, progress pembangunan nyaris tak terlihat. Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama sekarang terang-terangan menuding ada yang tidak beres dari proyek tersebut.

Sementara itu, tak ingin disudutkan, Jokowi membela diri. “Mau groundbreaking seribu kali juga enggak apa-apa. Wong bukan duit kita kok, bukan APBD, kok ribut,” ujarnya sebagaima diwartakan Kompas.com.

Pernyataan Pak Gubernur memang betul. Monorel dibangun tidak menggunakan APBD, begitupun acara groundbreaking proyek tersebut. Tapi, tidak berarti kemudian kita diam saja apabila proyek ini amburadul.

Jokowi sebetulnya paham bahwa masih banyak kekacauan yang harus diluruskan. Persoalan paling krusial adalah soal subsidi yang akan dibebankan kepada Pemprov DKI, apabila kelak jumlah penumpang kurang dari 160.000 orang per hari.

Masalah lain adalah soal penguasaan properti di sepanjang proyek monorel, termasuk soal pemasangan iklan. Semua problem tersebut harus tuntas dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang sampai hari ini belum ditandatangani antara kedua belah pihak.

Jokowi memang berbeda dengan kebanyakan pejabat di Indonesia. Bukan cuma soal blusukan, beliau juga cepat dalam mengambil keputusan atau tindakan. Termasuk keputusannya merestui pembangunan kembali monorel.

Hanya saja, menjadi blunder ketika ternyata masih banyak hal yang harus disepakati terkait proyek ini. Kita tentu berharap semua masalah bisa terselesaikan dalam waktu singkat. Karena akan sangat fatal jika akhirnya proyek ini mangkrak lagi. Bukan sekadar kecewa, mungkin publik akan menganggap kebijakan Pemprov DKI Jakarta dalam transportasi massal hanya dagelan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun