Dua puluh empat tahun bukanlah waktu yang sebentar. Selama itu, Jerman memendam hasrat untuk kembali berjaya di ajang Piala Dunia. Setelah 24 tahun berlalu, mimpi itu menjadi nyata. Jerman menjuarai Piala Dunia 2014 setelah mengandaskan Argentina 1-0, di Stadion Marcana, Brasil, Senin (14/7) dinihari WIB.
Keriaan jadi milik penggemar Der Panzer. Bukan cuma yang menonton langsung di stadion, tapi juga dirasakan di sejuruh penjuru dunia wabil khusus yang di Jerman sendiri. Kembang api ditembakkan di seluruh pelosok Berlin begitu para pendukung merayakan kemenangan 1-0 dengan menyesaki jalanan dan menyalakan klakson mobil dengan bendera hitam, merah dan emas berkibar di mana-mana. Lebih dari 200.000 pendukung larut dalam kesenangan di jantung kota Berlin dengan menyanyikan "Oh indahnya!" dan meneriakkan "Super Deutschland".
Kanselir Jerman, Angela Merkel menjadi satu dari ribuan orang Jerman yang berpesta di Brasil. Tak kurang dari 10 ribu kilometer ditempuh oleh Kepala Pemerintahan Republik Jerman itu untuk mendukung para pahlawan negaranya berlaga. Merkel memang seorang penggemar berat sepak bola. Tapi lebih dari itu, kesuksesan Jerman di Piala Dunia sejatinya punya arti tersendiri bagi Pemerintah Jerman. Tiga gelar Piala Dunia yang pernah diraih Jerman, semuanya terjadi saat Jerman terbagi menjadi dua negara : Jerman Barat dan Jerman Timur. So, PD 2014 inilah gelar pertama Jerman pascareunifikasi.
Dulu, 8 Juli 1990, Jerman Barat berpesta setelah Lothar Mathaeus cs sukses menundukkan Argentina –juga dengan skor tipis 1-0—sekaligus gelar terakhir mereka di kancah PD. Sementara saudara-saudara mereka di Jerman Timur masih berkutat dengan krisis ekonomi yang parah. Kemenangan Jerman Barat saat itu turut dirasakan kegembiraannya oleh Jerman Timur. Bagaimanapun juga mereka masih satu bangsa. Kebetulan, proses penyatuan kembali (reunifikasi) Jerman sedang berjalan. Jerman akhirnya kembali bersatu secara resmi pada 3 Oktober 1990, sekitar tiga bulan setelah PD Italia 1990.
Reunifikasi telah menimbulkan biaya yang tidak sedikit, terutama karena beban hutang Jerman Timur yang membumbung tinggi. Selain itu, butuh modal sosial yang amat besar untuk mempersatukan kembali rakyat yang kadung terbelah bukan sekadar dari aspek geografi melainkan juga ideologi. Dengan segala kesulitan yang dilalui, rakyat Jerman berkomitmen memelihara persatuan tersebut sampai hari ini.
“Kemenangan ini penting untuk mempersatukan kembali Jerman. Itu menunjukkan kami sungguh dalam kebersamaan,” kata Thorsten Kinscher, karyawan berusia 34 tahun yang bekerja pada perusahaan pelayaran di Berlin. Senada dengan Kinscher, Annet Volker (42 tahun) juga melihat keberhasilan ini sebagai anugerah bagi Jerman. “Ini kejuaraan super yang mempersatukan kembali Jerman, rasa bersatu yang jauh lebih besar," kata dia.
Apa yang sedang terjadi di negeri kita saat ini justru amat kontras dengan fenomena menguatnya persatuan di Jerman. Indonesia yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu juga) sekarang sedang terkoyak hanya karena perbedaan pilihan politik. Pendukung capres nomor 1 melihat pendukung capres nomor 2 tak ubahnya musuh, begitu juga sebaliknya. Jangan sampai kita harus membayar mahal hanya karena ini. Momentum Ramadhan juga seharusnya memudahkan kita semua, khususnya para elite politik itu, untuk bergandengan tangan dan menatap masa depan Indonesia yang lebih cerah dengan persatuan dan kesatuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H