[caption id="attachment_339071" align="aligncenter" width="415" caption="Prabowo muda saat ikut dalam "][/caption]
Siapa tidak kenal (alm.) Soemitro Djojohadikoesoemo. Ya, dia adalah ayah kandung Prabowo Subianto. Publik mungkin lebih mengenal beliau dengan sebutan ‘Begawan Ekonomi Indonesia’. Soemitro memang seorang ekonom kesohor di zamannya. Tak tanggung-tanggung, ia ikut mendirikan Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia.
Tapi, tak banyak yang tahu sejarah kelam doktor lulusan Nederlandse Economise Hogeschool, Rotterdam, Belanda ini. Soemitro merupakan salah satu tokoh penting dalam pemberontakan PRRI-Permesta pada 1958. Ia merupakan orang yang mengendalikan dan mengorganisir pasokan kebutuhan pemberontakan dari Amerika Serikat. Semua persenjataan serta alat komunikasi modern disalurkan kepada gerombolan pemberontak melalui Singapura. AS menyuplai persenjataan canggih seperti LMJ 12,7 mm, bazoka, granat semi otomatis, persenjataan infanteri dan senjata-senjata penangkis serangan udara, dll.
Bukan rahasia lagi kalau AS saat itu amat membenci Sukarno, Presiden Indonesia. Berbagai cara mereka tempuh untuk menggulingkan kekuasaan Sang Proklamator. Termasuk di antaranya dengan menyokoh penuh pemberontakan PRRI-PERMESTA. Sulit dibantah bahwa ada hubungan amat erat antara Soemitro dengan CIA. Namun, upaya makar dari PRRI-PERMESTA berhasil ditumpas. Soemitro pun sempat ‘buron’ keluar negeri walaupun sebetulnya Bung Karno tak pernah mendendam pada para pemberontak.
Saat akhirnya Bung Karno lengser –yang juga sulit diingkari adanya keterlibatan AS dalam skenario G30S/PKI—peruntungan Soemitro berubah. Ia sempat jual mahal kendati Presiden Soeharto memintanya pulang. Adam Malik diutus oleh Soeharto untuk membujuk Soemitro di Bangkok. Sebelumnya misi itu dijalankan oleh Ali Moertopo namun gagal.
Pada 29 Mei 1968, Sumitro beserta keluarganya kembali ke tanah air, langsung menuju Cendana disambut oleh Soeharto. Tanggal 6 Juni 1968, susunan menteri Kabinet Pembangunan I diumumkan, Sumitro menjabat sebagai Menteri Perdagangan Orde Baru. Di kemudian hari hubungan Soemitro dengan Soeharto kian dekat lantaran anak mereka (Prabowo dan Titik) terikat perkawinan. Jangan heran kalau di hampir semua buku pelajaran sekolah tak pernah kita jumpai cerita buruk soal Soemitro. Istilah Begawan Ekonomi Indonesia mulai dipopulerkan untuk menyebut Soemitro.
Soemitro lantas mengontak teman lamanya (baca: Amerika Serikat) untuk memberikan beasiswa pada para calon ekonom-ekonom muda Indonesia. Sekarang paham kan kenapa ekonomi kita berkiblat ke liberalisme.
Nah, sekarang berselang 56 setelah pemberontakan memalukan itu, Prabowo berpeluang mengulangi ‘pengkianatan’ ayahnya kepada republik tercinta. Dulu, Soemitro menjadi antek asing dan rela melihat perang saudara di Tanah Air. Apakah Prabowo sudi sejarah buruk itu terulang di Indonesia, hanya demi mengejar kekuasaan? Bisa saja, seperti kata pepatah : like father like son.
Saat pemberontakan PRRI terjadi dan disusul aksi minggat keluar negeri, Prabowo masih kecil. Tentu semua memori itu membekas di otaknya dan membentuk kepribadiannya. Makanya, saya sering tertawa sendiri kalau melihat dia dengan lantang menuding pihak lawan sebagai antek asing. Lucu juga kalau dia suka membawa-bawa sosok Soekarno dalam agitasi murahannya.
Ya sudahlah, semoga kekhawatiran saya berlebihan. Mudah-mudahan saja Prabowo benar-benar cinta terhadap Tanah Air sehingga tidak konyol membiarkan ‘perang saudara’ terjadi. Tak boleh ada setetes pun darah tertumpah di Bumi Pertiwi hanya karena perebutan kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H