Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Masihkah Jakarta Membutuhkan Camat dan Lurah?

7 Januari 2015   14:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:38 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Apabila pertanyaan di atas dialamatkan pada saya, tanpa ragu saya akan menjawab tidak perlu. Bagaimana dengan Anda? Jawabannya boleh jadi berbeda. Mari kita kupas lebih mendalam agar bisa mendapat jawaban yang lebih obyektif dan tidak tendensius.

[caption id="attachment_363448" align="aligncenter" width="491" caption="sumber foto: voaindonesia"][/caption]

Pertanyaan selanjutnya yang saya ingin pembaca jawab adalah : siapa nama lurah dan camat di wilayah Anda? Kalau ini adalah survei kecil-kecilan, saya berani bertaruh lebih dari separuh pembaca tulisan ini tidak kenal dengan ‘penguasa’ wilayahnya. Kalau kenal saja tidak, bisa dipastikan interaksi dengan lurah dan camat pun pasti amat jarang. Bahkan, untuk mengurus KTP saja banyak yang lebih suka minta tolong pada calo. Kalau saja tidak harus dilakukan pemotretan dan perekaman sidik jari, jangan-jangan Anda tidak pernah menginjakkan kaki ke kantor kelurahan.

Di luar pengurusan KTP, KK dan segala macam tetek-bengek administrasi kependudukan lainnya, apa lagi sih peran lurah dan camat dalam kehidupan sehari-hari? Secara umum, kelurahan melaksanakan tugas pemerintahan daerah yang dilimpahkan dari gubernur dan mengoordinasikan pelaksanaan tugas pemerintahan daerah di wilayah kelurahan. Tugas tersebut dijabarkan dalam fungsi yang cukup beragam. Mulai dari pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban, pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan prasarana dan sarana umum, pemeliharaan kebersihan, sampai dengan pengawasan rumah kos dan kontrakan serta masih banyak lainnya. Tugas dan fungsi kecamatan hampir sama namun dengan ruang lingkup yang lebih luas.

Dari sekian banyak tugas dan fungsi, mana saja yang benar-benar dirasakan hasilnya oleh warga. Sepertinya tidak banyak. Sampah masih jadi masalah serius, lubang galian di mana-mana menyengsarakan warga, belum lagi persoalan tawuran, kebakaran dan sebagainya. Lalu, dengan serta merta bisa kita simpulkan semua camat dan lurah di Jakarta inkompeten. Nanti dulu, jangan terburu-buru ambil kesimpulan.

Kecamatan dan kelurahan sudah diamanahi banyak tanggung jawab, tapi sebandingkah dengan sumber daya (resources) yang dimiliki? Kalau sekadar melimpahkan kewenangan dan menumpahkan anggaran mungkin perkara mudah, tapi bagaimana dengan keterbatasan personil baik dari segi kualitas maupun kuantitas? Kalau tidak sebanding, kenapa kecamatan dan kelurahan ditugasi demikian? Lho, kalau tidak diberi tugas-tugas seperti itu lalu camat dan lurah mau ngapain?

Pada titik ini pertanyaan yang saya gunakan sebagai judul artikel menjadi relevan. Jakarta sudah tidak butuh camat dan lurah lagi, yang dibutuhkan adalah urban manager alias manajer perkotaan. Wacana ini mungkin terdengar basi di kalangan aparat pemerintah provinsi DKI Jakarta, terutama camat dan lurah. Konsep ini bukan barang baru. Gubernur Fauzi Bowo kerap kali melontarkan ide tersebut yang kemudian disandingkan dengan program penguatan kecamatan dan kelurahan. Sayangnya, gagasan urban manager gagal diturunkan pada tataran aplikatif.

Dari Mana Kita Memulai?

Saya melihat gagalnya penerapan urban manager adalah akibat dari terlalu panjangnya struktur pemerintahan kewilayahan di Pemprov DKI Jakarta. Seorang gubernur membawahi 5 walikota dan 1 bupati, di bawahnya ada 44 camat, kemudian di bawahnya lagi ada 267 kelurahan. Wajar saja jika kemudian terjadi tumpang tindih kewenangan. Rentang kendali oleh gubernur pada lurah pun terasa nyaris mustahil, selain karena tingkatannya terlalu jauh, jumlahnya juga terlalu banyak.

Restrukturisasi selama ini sebatas hanya mengurangi struktur dinas, lembaga teknis, ataupun jabatan-jabatan struktural di kota/kabupaten, kecamatan dan kelurahan. Belum pernah terpikir sesuatu yang out of the box, misalnya mengeliminasi satu jenjang pemerintahan dengan cara melebur kecamatan dan kelurahan lalu membentuk sebuah struktur baru. Dari 44 kecamatan dan 267 kelurahan mungkin bisa diperkecil hingga tinggal menyisakan sekian wilayah baru. Mengenai jumlahnya tidak bisa langsung dikira-kira, tetapi ditentukan berdasarkan hasil kajian empiris.

Pembagian wilayah baru itu hendaknya berdasarkan tipologi-tipologi tertentu, sehingga satu wilayah memiliki karakteristik yang relatif tidak memiliki disparitas tinggi dalam berbagai kriteria. Adapun nama struktur baru tersebut bisa diusulkan dengan sebutan ‘distrik’. Dalam bayangan saya, kelak Jakarta hanya akan memiliki 5 kota dengan masing-masing wilayah memiliki antara 10 – 15 distrik di bawahnya atau secara total ada 50 – 75 distrik.

Para kepala distrik itu nantinya benar-benar menjadi seorang manajer kota. Tugas dan fungsinya boleh saja lebih berat daripada camat saat ini, namun berikan juga kewenangan penuh yang operasional dan eksekutorial. Tentu saja syaratnya adalah kecukupan anggaran dan personil yang memadai. Kualifikasi yang dibutuhkan untuk mengisi posisi kepala distrik/urban manager ini pun tidak sembarangan. Kemampuan manajerialnya harus benar-benar teruji oleh assesor yang kredibel.

Apakah gagasan ini mungkin direalisasikan? Seharusnya dengan desentralisasi asimetris yang diberikan kepada Jakarta semua jadi mungkin. Kalau Aceh bisa sampai memiliki bendera sendiri, Papua punya format pemerintahan yang berbeda, dan Yogyakarta tidak perlu melakukan pilkada, mengapa Jakarta tidak bisa merumuskan struktur pemerintahannya yang berbeda? Alasan (reasoning) yang juga bisa digunakan dan tidak terbantahkan adalah posisi Jakarta sebagai ibukota yang tantangannya berbeda dengan daerah lain maka membutuhkan bentuk pemerintahan yang spesifik. Oleh karena itu, jika memang ingin melakukan perubahan progresif ini harus dilakukan melalui revisi undang-undang yang mengatur kekhususan Jakarta (UU 29/2007).

Siapkah Aparat Pemprov DKI?

Benchmark bagi Jakarta sejatinya adalah kota-kota Megapolitan lain di dunia seperti Paris, New York, Tokyo, atau Seoul. Jadi, sudah tidak relevan lagi kalau camat dan lurah di Jakarta masih berkutat pada urusan pembinaan RT/RW, pengajian, menghadiri resepsi pernikahan/kondangan, dan berbagai lomba yang tidak jelas manfaatnya bagi masyarakat.

Saya tidak bermaksud menyepelekan pekerjaan-pekerjaan kepamongan tersebut. Masih ada cukup banyak kelompok masyarakat yang membutuhkan pendekatan-pendekatan seperti itu. Akan tetapi, kalau seorang urban manager justru menghabiskan waktunya untuk urusan begitu, kapan Jakarta bisa bersaing dengan kota-kota global lainnya?

Oleh karena itu, tantangan terberat dalam merealisasikan gagasan urban manager yang benar adalah dari kesiapan aparaturnya. Keberhasilannya akan sangat ditentukan pada sejauhmana kemampuan para pejabat di level terdepan saat ini untuk mengubah mindset dari camat/lurah menjadi manajer kota.

Kemampuan camat dan lurah eksisting yang umumnya sangat baik dalam hal pendekatan personal dengan warga bisa menjadi modal bagus, tapi bukan yang terpenting. Seorang manajer kota harus memiliki pengetahuan yang interdisiplin, mulai dari urban planning, sosial politik, ekonomi, manajemen aset dan sarana kota, dan lain-lain.

Seorang manajer kota di Jakarta kelak akan sibuk menyiapkan proposal pembangunan infrastruktur, mengawasi pekerjaan kontraktor sarana umum, atau memonitor aktivitas warga melalui gadget yang menampilkan rekaman CCTV di wilayahnya. Menjaga hubungan baik dengan warga lewat interaksi langsung di lapangan tentu perlu, tapi dengan pola yang lebih egaliter. Buang jauh-jauh mental birokrat warisan penjajah. Sadari betul bahwa kedudukan warga sejatinya lebih tinggi dari Anda, seorang pelayan publik.

Seorang manajer kota nanti akan disukai warganya bukan berdasar seberapa sering dia datang ke pengajian atau kondangan, melainkan dilihat kinerjanya mengatasi persoalan-persoalan di wilayah. Seorang manajer kota juga dihargai dan disegani bukan karena menggunakan seragam cokelat dengan tanda pangkat/jabatan, tapi justru karena bisa menampilkan performa yang hangat, ramah, bersahabat dan yang terpenting adalah mau MELAYANI.
wallahu 'alam bishawab


Joglo, 7 Januari 2015
~SAF~

Lebih jelas soal ini bisa lihat produk hukum yang mengatur mengenai Organisasi dan Tata Kerja, yaitu Pergub 146/2009 (untuk Kecamatan) dan Pergub 147/2009 (untuk Kelurahan).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun