Saat sedang mengantri di sebuah bank, saya sempat berbincang dengan seorang Ibu yang juga ikut mengantri. Apalagi topiknya kalau bukan tentang polah anak-anak. Ibu tadi menceritakan pendidikan ketujuh orang anaknya. Wow, luar biasa. Ibu tadi juga menceritakan kehebatan anak-anaknya. Ada yang pandai mengaji, menang lomba ilmiah, hapal Al-Qur’an dan sederet prestasi lainnya.
Saya sungguh tercengang, bagaimana ibu ini bisa meng-handle pendidikan ketujuh orang anaknya. Beliau bahkan mengatakan bahwa teman-temannya rata-rata memiliki banyak anak.tujuh, sepuluh, bahkan dua belas orang anak.
Setelah terlibat pembicaraan lebih lanjut, ternyata Ibu ini mengirim anak-anaknya untuk belajar di pesantren. Ketika usia memasuki SD atau SMP, anak-anaknya sudah dikirim untuk belajar di pesantren, baik di kota yogya maupun di kota lain. Bahkan anak-anaknya dikirim ke pesantren yang berbeda agar dapat mengetahui kualitas pengajarannya. Jadi, sekalipun anaknya banyak yang tinggal di rumah tinggal sedikit yang tersisa.
Saya tiba-tiba terhenyak. Rasa kagum yang muncul tiba-tiba surut. Kenapa anak dijadikan bahan percobaan. Seandainya mengirim anak-anak ke pesantren dengan keyakinan bahwa pendidikan di pesantren lebih baik daripada pendidikan di rumah, mungkin saya bisa menerimanya. Tapi bagaimana kalau tindakan mengirim anak-anak ke pesantren sebagai pengalihan tanggung jawab karena tidak mampu memberikan pendidikan yang terbaik di rumah, itu yang amat saya sayangkan.
Rasulullah memang menghendaki agar umatnya memiliki jumlah yang banyak, bahkan dikuatkan oleh sebuah hadist. Tapi tentunya kita tidak dapat menafikan kenyataan yang lain. Saya tetap berkeyakinan bahwa muslim yang berkualitas jauh lebih baik ketimbang kuantitas.
Saya rasanya miris manakala melihat kehadiran bayi-bayi dalam sebuah keluarga silih berganti diasramakan sekedar pengurang beban orang tuanya.
Saya tetap percaya bahwa keluarga adalah pijakan awal seorang anak. Di sanalah tempatnya untuk tumbuh dan berkembang.
Namun, juga tidak salah jika keluarga muslim menginginkan banyak keturunan dalam rumah tangga mereka. Prinsipnya mungkin, kalau memang bisa memiliki anak banyak dengan kualitas cemerlang, mengapa tidak? Namun, jika merasa tidak mampu, pikirkan dengan cermat berapa jumlah anak yang ideal dengan kemampuan kita. Sekali lagi, anak adalah amanah yang harus kita jaga untuk kemudian dipertanggungjawabkan. Karena pendar bintang yang bersinar di matanya adalah lentera kita untuk meraih ridho-Nya. Wallahualam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H