Refleksi Fight Like Ahok oleh : Senikariawati Laiya, S.Psi., M.A.
Pertama kali saya mengenal nama Pak Ahok itu ketika namanya tiba-tiba viral karena akan bersanding dengan seorang figur bernama Pak Jokowi sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Naluri keingintahuan saya otomatis tumbuh dengan liar dalam benak. Siapa pria Tiong Hoa yang telah begitu berani dan berhasil merebut hati masyarakat sampai ke Senayan ini? Jujur… Pikiran suudzon auto nongol diam-diam dalam pikiran, “Yah, wajarlah orang Cina, duitnya kan tumpah-tumpah. Wajar kalau menang” sambil nyengir di otak.. Tapi pikiran itu terpatahkan dengan logika yang ngga mau kalah ikut menimpali, “Kalau aku jadi Ahok, ngapain habisin hidup untuk hal-hal yang ujung-ujungnya hanya seperti “jual-beli-jual” maksudnya lu jual suara, trus gua beli dan gua jual lagi deh dengan harga yang fantastis udah kayak judi aja. Resikonya kalau ngga hati-hati dan penuh siasat maksiat, pasti berakhir di bui. Ngapain hidup kayak gitu? Belum lagi mati di hantuin perasaan bersalah dan nasib keluarga jadi kocar-kacir (bercermin dari banyak kasus pejabat haram). Mending jadi pengusaha kayak Pak Jusuf Hamka. Kerja kerasnya sama tapi untungnya berkali-kali lipat dan ngga harus berhadapan dengan orang-orang kecil seperti Pak Ahok.”
Meskipun kedua ide hitam putih ini berperang dalam sanubari, tetap saja saya penasaran untuk cari tahu profilnya Pak Ahok ini. Yang bikin unik adalah metode kampanye dengan baju kotak-kotak yang bikin setiap orang auto merasa bangga sendiri karena bisa memakai baju dengan corak minimal mirip dengan aslinya. Aikonik sekali bukan…?!? Tapi karena saya hanya warga pulau yang masih berpikir sempit, pencarian itu berhenti dengan sendirinya. Alasannya so so simpel, “Itukan di Jakarta, manalah ada dampaknya ke kami di pulau-pulau kecil ini.” Sehingga saya pun memutuskan untuk tidak terlalu cari tahu lebih jauh. “Dunia politik jauhlah dari hidup saya. Yang penting saya masih bisa berbuat di masyarakat itu juga sudah mantap!” timpalku dalam hati membela diri.
Eh ternyata… Sepak terjang beliau kembali mengusik hati terutama setelah mendengar bagaimana Beliau benar-benar berkarya secara BTP (Berani - Tranparan - Profesional) sepanjang dia menjalankan amanat yang diemban. Bagaimana tidak? Saya lihat sendiri di YouTube, Beliau di tengah-tengah kesibukannya masih menyempatkan diri mendengarkan keluhan warganya yang datang dengan air mata memohon pertolongan untuk bantuan kesehatan (Tiba di Balai Kota DKI, Ahok Langsung Minta Maaf ke Ibu Ini - YouTube). Ngga pakai lama, Beliau langsung mencari tahu dan menyuruh pihak terkait mengurus proses pengobatan warganya tersebut. Sekalipun demikian, ia juga dengan tegas menolak upaya-upaya administrasi yang curang sekalipun itu dari warganya sendiri. Dalam bayangan saya, kehadirannya di Balaikota Jakarta seperti Pendekar yang benar-benar hanya fokus memperhatikan sinergisitas antara peran pemerintah dan kebutuhan rakyatnya.
Yang paling bikin seru adalah ketika Beliau menetapkan PerGub yang wajibkan Video Rapat Ditayangkan untuk Publik (Ternyata Ahok Buat Pergub yang Wajibkan Video Rapat Ditayangkan untuk Publik (kompas.com). Hal ini sama sekali tidak merubah siapa jati dirinya. Ia tetap memimpin dan berdiskusi secara BTP dengan para pemangku jabatan ketika itu. Sumpah serapah yang keluar dari mulutnya sempat menjadi senjata bagi semua pembencinya untuk menjatuhkan kredibilitasnya. Tetapi saya yakin, di lubuk hati paling dalam itulah kemarahan yang benar-benar sudah tidak bisa lagi terbendung. Kekecewaan yang terwujud dalam emosi yang meledak karena kinerja pemangku jabatan yang menyakiti rakyat.
Sejak saat itu, saya sering mendengar banyak pegawai pemerintahan di DKI Jakarta kucar-kacir setiap kali mereka mendengar nama Ahok atau ada isu sidak. Benar-benar Revolusi Mental banget ya… Dan tanpa saya sadari, ternyata gerakan Revolusi Mental ini menyentuh daerah-daerah kecil termasuk tempat saya saat ini mencalonkan diri menjadi BaCaLeg. Namanya sering disebut-sebut oleh para PNS yang bertugas di kota saya sebagai sosok figur yang sangat mempengaruhi kinerja mereka. Mengapa? Karena pemerintah setempat mau tidak mau menerapkan pola bekerja Beliau yang dirasa sangat efektif dan berpihak kepada masyarakat tetapi “menekan” para PNS untuk bekerja lebih maksimal.
Sampai akhirnya drama penistaan agama menuntutnya menjadi “penjahat agama” dan harus menerima hukuman selama 2 tahun dan denda biaya perkara sebesar Rp. 5.000,-Beliau sudah berusaha membela diri karena memang dia sama sekali tidak bermaksud demikian. Tetapi itupun tidak bisa membungkam kaum kadrun yang beria-ria dengan tuntutan hukuman yang diberikan. Luar biasanya, Pak Ahok bebas murni setelah 1 tahun 8 bulan 15 hari dipenjara dipotong beberapa remisi. Ia bahkan sama sekali tidak menggunakan apa yang menjadi haknya sebagai narapidana (Ahok Bebas 24 Januari, Total Hukuman Penjara 1 Tahun 8 Bulan 15 Hari (detik.com)).
Banyak orang meramalkan bahwa kesempatan Ahok untuk melanjutkan amanat rakyat pupus sudah setelah menjadi seorang mantan narapidana. Maaf saja!!! Jeruji besi ternyata tidak menghentikan langkahnya menjadi “Pejabat Halal” (istilah red.) di negeri ini. Orang-orang yang sangat mengenal hatinya kembali mempercayakan tugas penting yakni sebagai Komisaris Utama PT. Pertamina (Ahok Dapat Jabatan Baru di Pertamina, Apa Itu? (kompas.com)). Peran yang tidak main-main karena dampak yang diberikan akan berimbas ke seluruh masyarakat Indonesia. Peran yang dampaknya lebih luas dari seorang Wakil Gubernur. Dia terus memberi diri untuk berkarya sepanjang ia dipercaya dan ia sangat menjaga kepercayaan itu dengan integritas yang tidak pernah luntur. Dia bisa saja dendam atau memilih untuk pindah kewarganegaraan ke negara seperti yang pernah ia ungkapkan mengingat peristiwa tersebut telah membuat anak-anaknya menjadi korban bully (Takut Anak-Anak Di-Bully, Ahok: Sempat Mau Pindah Warga Negara - Sonora.id) tapi sampai saya mengetik tulisan ini yang saya tahu dia masih wara-wiri bahkan sedang mempersiapkan semakin banyak warga yang BTP melalui program MPB01, termasuk saya. Kalau bahasa saya, “Ini orang batrainya ngga ada habis-habisnya bagi rakyat!”