Kehidupan manusia tidak selalu berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang diharapkannya, banyak sekali tantangan dan suka duka yang dihadapi setiap harinya. Individu mempunyai banyak sekali peristiwa yang terjadi di kehidupannya, ada peristiwa yang menyenangkan sampai tak terlupakan dan ada juga peristiwa yang mengecewakan sampai membekas dan menyebabkan kesehatan mentalnya terganggu. Tidak sedikit individu yang kualitas pada psychological well-being menurun dan disebabkan oleh permasalahan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Jika psychological well-being individu rendah, perlu dilakukan upaya guna meningkatkan psychological well-being. Psychological well-being individu rendah tidak hanya berpengaruh untuk dirinya sendiri, tetapi juga berpengaruh untuk bagaimana mereka berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain. Hubungan dan interaksi dengan orang lain sangat penting, terlebih karena manusia merupakan makhluk sosial.
Apa itu psychological well-being?
Menurut Ryff & Keyes, 1989 (dalam Yuliani, 2018), psychological well-being adalah suatu situasi pada individu yang mempunyai kemampuan untuk menentukan keputusan hidupnya secara mandiri, dapat menguasai lingkungan sekitarnya secara efektif, mempunyai hubungan positif dengan orang lain, dapat menentukan tujuan hidupnya, dan dapat menerima dirinya secara positif, serta mengembangkan potensi diri yang mereka miliki.
Individu juga harus mempunyai motivasi untuk menemukan makna hidup yang mereka miliki agar mempunyai kebahagiaan dan kesejahteraan atas hidup yang dijalaninya. Menurut Coob mengungkapkan bahwa dukungan sosial yang dimiliki oleh individu yang berasal dari orang tua, sahabat, dan lingkungan sosialnya dengan menerima dan menyayanginya merupakan faktor penting dari psychological well-being individu.
Lalu, apa cara lain untuk meningkatkan psychological well-being?
Tidak hanya itu saja, forgiveness juga salah satu cara untuk meningkatkan psychological well-being individu. Forgiveness merupakan koping yang berfokus pada emosi dan berfungsi untuk mengubah emosi negatif menjadi emosi positif dengan memaknai kembali suatu peristiwa yang terjadi. Permasalahan yang sering terjadi dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan memaafkan adalah memaafkan orang lain dan memaafkan diri sendiri. Memaafkan merupakan suatu hal yang tidak mudah dan menjadi tantangan besar untuk setiap individu. Memaafkan juga memerlukan ketabahan dan kebesaran hati untuk melakukannya. Perihal memaafkan tidak selalu tentang "aku" dan "kamu", tetapi tentang "aku" dan "diriku sendiri".
Memaafkan itu membutuhkan waktu dan proses yang sangat panjang. Jika individu sudah memutuskan untuk memaafkan suatu peristiwa atau orang yang mengecewakannya, dapat disimpulkan bahwa individu tersebut sudah dapat menerima keadaan dan berdamai dengan dirinya sendiri untuk melawan ego yang dimilikinya.
"Walaupun kita sudah memaafkan, bukan berarti kita dapat dengan mudah melupakan peristiwa atau orang yang mengecewakan kita."
Terkadang, kita sering kali berpikir bahwa ketika orang lain membuat kesalahan dan menyakiti dirinya, orang tersebut harus meminta maaf. Jika orang tersebut tidak meminta maaf, kita tidak akan memaafkannya dan menyimpan dendam dalam kurun waktu yang lama. Hal tersebut yang menyebabkan mental kita tidak sehat, mengapa? Karena secara tidak langsung, kita membebani pikiran kita dengan mindset yang salah. Kita membiarkan mindset yang kita miliki untuk mengubah segalanya dan menguasai diri kita sendiri. Jika kita selalu berpikir bahwa orang lain harus lebih dulu meminta maaf ketika berbuat salah, lambat laun kita akan menjadi orang yang pemarah, pendendam, mempunyai ego yang tinggi, sombong, tinggi hati, dan keras kepala. Dampaknya sangat buruk bukan untuk kepribadian kita?
Meminta maaf itu memang sulit dan sangat sulit, terlebih jika kita atau orang lain tidak mengetahui apa kesalahan yang sudah dilakukan. Akan tetapi, dengan meminta maaf, batin kita akan menjadi lebih damai dan mempunyai emosi yang positif.