indah mewarnai kanvas biru. Dibawah balutan sinar sang surya, layak mahluk ciptaan Sang Esa yang paling indah. Gaun putih terbang diantara cantiknya bunga abadi, diantara perasaan kasihnya yang abadi pada gadis dengan surai panjangnya yang hitam pekat. Netra hitamnya yang dapat menenggelamkan jiwa siapapun menatapnya tulus.
Nyanyian tawaLangkahnya dengan ringan membawanya pada sang pujaan hati. Seakan tubuhnya mengetahui rumah jiwa di dalam. Rumah bagi jiwa yang bahkan tak pantas untuk mendapatkan mahluk tuhan paling indah itu. Dengan mudah tubuh gadis itu ia dekap menyalurkan hangat, seakan tubuh sang kekasih diciptakan untuk dilingkarkan oleh lengannya.Â
Yang sekarang hanya digantikan absensinya oleh sang angin. Menyisakan bunga abadi untuk menjadi pengingat akan cerita kedua insan yang saling mencinta. Mengikhlaskan edelweisnya berpulang kepada semesta, menjadi bintang yang hiasi gulita malamnya.
Tak peduli bila dunia berakhir, akan ia jaga edelweis itu. Menunjukkan pada bintang, bahwa kasih yang mereka miliki masih abadi. Putih suci sang abadi akan selalu ia jaga, menghiasi bukit hijau tanah jawa.
Rembulan menemani malam, menghias dataran jawa dengan cahayanya. Menjadi saksi bagaimana manusia tidak tahu diri menghancurkan sang pertiwi. Gelap malam tergores oleh bara api, memberi hangat pada dingin malam. Awan hitam menutupi indah bintang, menyebarkan sesak bagi penghuni semesta.
Dirinya layak dijatuhkan dalam gelap jurang tak terbatas, ketika sang api melahap cinta abadinya. Merah membara tak peduli pada putih yang ia nodai menjadi hamparan hitam. Dengan kejam tak menyisakan sedikitpun untuk ibu pertiwi.
Kini sang bunga abadi hanya menjadi memori, akan indahnya cinta yang ia miliki. Keserakahan manusia akan selalu menjadi hantu ibu pertiwi, bahkan untuk edelweis sang bunga abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H