Please play the music then start to read this story... :)
CANDU CINTA
Oleh : Shelly Lansritan
Laki-laki adalah sumber air mata, kesedihan! Laki-laki adalah sumber kearoganan, pecundang! Dan laki-laki adalah sumber kesakitan, malapetaka! Saya benci laki-laki. Saya tidak butuh laki-laki. Tapi saya bukan kaum lesbi. Saya hanya perempuan yang tidak butuh cinta untuk bercumbu dengan kehidupan. Semua orang yang mengenal saya tahu itu. Mereka juga sadar bahwa seorang Nona Arimbi Putri adalah direktur muda yang sukses membangun sebuah perusahaan travel dengan mempekerjakan semua perempuan untuk seluruh jajaran staf, kecuali office boy. Ya hanya posisi paling rendah di perusahaan saya yang pantas diisi oleh seorang laki-laki.
Saya adalah saya. Saya tidak perlu menjadi siapapun untuk membahagiakan orang lain. Saya tidak perlu menjadi seperti seorang Anita yang setiap hari harus bangun pagi-pagi buta menyiapkan sarapan dan segala keperluan untuk suami dan anak-anak. Bahkan tidak jarang Anita berkeluh sedih masakan dan pekerjaan rumahtangganya kerap kali tidak mendapat penghargaan dari keluarga. Saya tidak perlu menjadi seperti seorang Cindy yang harus merajuk kepada suami setiap kali ingin beli baju, tas, sepatu dan aksesoris. Bahkan untuk barang sale sekalipun, Cindy kerap perlu memohon agar suaminya bersedia menggesekkan kartu kredit. Atau saya tidak perlu menjadi seperti seorang Sinta yang hidupnya bagai burung dalam sangkar. Bahkan bukan saja Sinta harus meninggalkan karir yang sedang gemilang, pergi ke pasar pun harus ada surat ijin keluar rumah dari suami.
Pernikahan? Aaaaaaaah…pernikahan buat seorang Nona adalah pernikahan antara diri sendiri dengan waktu, bukan pernikahan diri ini dengan seorang laki-laki. Dengan menikahi waktu, saya merasa sempurna. Saya boleh meraih sukses dengan keringat sendiri karena saya adalah pelayan waktu dalam bekerja. Saya boleh berpesta dengan kehidupan karena waktu tidak pernah memenjarakan langkah saya. Hidup ini tiada cacat berarti, saya layaknya burung yang bebas terbang di langit tinggi.
Selama 33 tahun saya adalah betina tangguh yang bertahan dalam dunia dengan segala pemikiran-pemikiran hebat. Saya bangga mempertahankannya. Rasanya bahagia hidup dalam kesendirian, tanpa cinta, tanpa laki-laki. Tapi seorang kurang ajar bernama Doni Prasetyo sungguh berani mengoyak-oyak selaput dunia yang saya banggakan. Rasanya hati ini seperti diperkosa. Pikiran ini seperti ditelanjangi bulat-bulat. Tapi anehnya saya bukan hanya menikmati, tapi juga sudah mencapai orgasme dari perbuatan bejatnya. Dan bertambah parah ketika saya kecanduan. Kecanduan akan keluguannya. Kecanduan akan ketulusannya. Kecanduan akan keunikannya. Perfect! I’m addicted to him now!
“Chery manis, kenapa melamun?” Doni tiba-tiba membuyarkan lamunanku dan duduk tepat di sampingku. Hmm…Chery adalah sebutan sayang Doni untuk saya, katanya wajah saya manis sungguh semanis buah chery. Aaaaah…kalau bukan Doni yang memberikan nama panggilan itu, saya sudah pasti tersenyum sinis menyambut kegombalan konyol macam itu. Belum lagi Doni meminta saya memanggilnya dengan sebutan “Donat” karena selain bentuk wajahnya yang bulat memang kue donat adalah makanan favorit Doni. Owowow…ini saatnya buat saya mentertawakan diri sendiri. Bagaimana mungkin seorang Nona sangat menikmati bersikap seperti layaknya anak SMA dalam percintaan. Tapi ini kenyataan dan sudah terlanjur menjadi candu.
Sembari menyeruput greentea latte saya menggodanya “Lagi mikirin kamu Nat.” “Ah, saya tidak usah dipikirkan terlalu jauh, karena makin jauh nanti kamu makin kangen lho Cher” Doni bergurau. Saya menatapnya dan tersenyum kecil “Don, umm…listen to what I wanna tell you. I just thinking about our relationship.”
“Heeiii…what’s wrong? Ada apa, kenapa kamu tiba-tiba kumat seriusnya hehehe” Doni mengernyitkan dahinya.
“Don, kamu tidak lupa kan cerita hidup saya di awal kedekatan kita. Kamu tidak lupa kan nenek saya adalah korban pernikahan paksa untuk menutupi hutang-hutang ayahnya. Nenek yang malang hanya menjadi korban kearoganan suaminya yang juragan tanah itu. Hampir setiap waktu nenek selalu menjadi perempuan yang dipecundangi oleh suaminya sendiri. Kamu juga tidak lupa kan bahwa ibu saya adalah seorang perempuan lemah yang hanya bisa berurai air mata menerima kesedihan-kesedihan yang diciptakan oleh ayah saya. Dan kamu juga tidak lupa kan bahwa adik perempuan saya satu-satunya adalah korban kebiadaban teman sekolahnya. Hidupnya adalah malapetaka, ia menjadi pesakitan” saya menarik nafas panjang.
“Iya Nona, saya tidak akan pernah lupa bahwa kisah pahit itu adalah bagian dari hidupmu. Dan mungkin karena kisah hidupmu itu lah, sang waktu menutup pintu hatimu sedemikian lama untuk kemudian dibukanya saat saya datang” kali ini Doni berucap tanpa gurau.
“Tapi saya sudah putuskan Don lebih baik saya tetap sendiri, ini yang terbaik” saya menjawab seadanya.
Doni terhenyak “Terbaik untuk siapa? Untuk kamu? Alasan kamu tidak jelas Nona!”
“Sudahlah Don, toh sebelum kita bertemu kita dapat menjalani hidup dengan baik-baik saja bukan?” saya berusaha meyakinkan Doni.
“Ya baik-baik saja Nona, sebelum kamu terlanjur menjadi bagian dari hati saya yang hilang bertahun-tahun kemarin. Kamu datang, kamu menaruh potongan puzzle itu dan sekarang kamu ingin mengambilnya kembali. Apa bedanya kamu dengan laki-laki kurang ajar yang selama ini hidup dalam kebencian kamu?” mata Doni menatap saya sangat dalam.
Saya seperti tertampar keras dengan kalimatnya. “Kamu ingin ciptakan air mata untuk saya setelah air mata itu mengering cukup lama. Kamu ingin ciptakan kearoganan dalam hubungan kita dengan sikap tidak jelasmu itu. Dan kamu ingin jadikan saya pesakitan setelah hari ini kamu campakkan saya tanpa sebuah alasan. Katakan pada saya Nona, apa bedanya kamu dengan laki-laki yang selama ini hidup dalam dunia kamu?” Doni masih berkata sangat lirih.
Ini hebatnya, dia masih sanggup mengendalikan emosi di kala saya sedang melemparkan timah panas ke hatinya. Sementara saya, saya mati-matian mengatur gejolak hati yang bertabuh layaknya genderang perang. Sambil terus berusaha agar tidak ada air mata yang jatuh di depan Doni, saya berkata “Don, beri saya waktu sepuluh minggu untuk hidup tanpa kamu. Beri saya kesempatan untuk menempa hati ini terlebih dahulu apakah memang keputusan hari ini adalah keputusan yang terbaik untuk kita berdua. Kita jangan bertemu dan tidak perlu ada contact satu sama lain selama masa itu. Nanti di minggu kesebelas, saya akan hubungi kamu dan kita bertemu.”
Matahari masih tersenyum malu-malu saat saya duduk di pojok lounge bandara Ngurah Rai. Dalam kesendirian di kejauhan lebih dari seribu kilometer, tiga minggu setelah pertemuan itu, bisa-bisanya wajah Doni terpampang jelas di pelupuk mata ini. Saya mengerjapkan mata berulang kali untuk mengusir bayangannya. Tapi usaha itu hanya bertahan sesaat. Nyatanya di dalam pesawat sembari memandangi kumpulan awan-awan menggantung di langit, ingatan ini berkelana pada perjumpaan delapan bulan lalu dengan seorang pemilik perusahaan software IT yang belum lama berdiri. Berawal dari kedatangannya sebagai owner yang ikut pitching untuk bersaing mendapatkan proyek pembuatan sistem software online perusahaan travel milik saya.
Rasanya mustahil sebagai perusahaan pemula dapat memenangkan proyek itu kemudian. Bukan sekedar dari paket harga yang ditawarkan jauh lebih masuk akal, tapi seorang owner sangat muda berusia 31 tahun ternyata berhasil meyakinkan saya dengan cara yang sangat brilian bahwa keahlian yang dimilikinya beserta team stafnya memang layak dipertimbangkan. Tidak ada rasa, tidak ada cinta di hari itu. Sampai akhirnya selama dua bulan dalam pengerjaan proyek tersebut, kami dipaksa perlu sering bertemu untuk berdiskusi. Tidak jarang saya baru dapat ditemui sore hari selepas semua staf pulang kerja. Dalam setiap detik-detik diskusi, perlu diakui bahwa sosoknya yang sangat menguasai bidang IT sampai ke hal-hal detail pasti membuat setiap orang yang mengenalnya akan menaruh kagum. Dari kekaguman itulah saya tak kuasa menahan diri untuk tak terlibat dalam diskusi pribadi selanjutnya yang pada akhirnya memberikan sebuah ranah yang berbeda di hati saya.
Saya terpukau. Doni merupakan seorang tulang punggung bagi ibu dan kedua adiknya sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Sejak Doni kecil menjadi seorang yatim, ia terbiasa hidup mandiri. Lulus kuliah dengan predikat summa cum laude, mudah saja bagi seorang Doni diterima oleh perusahaan software terbesar di Indonesia. Berbekal pengalaman kerja selama sembilan tahun itulah akhirnya Doni memberanikan diri untuk membuka sebuah perusahaan software sendiri. Sebagai seorang kutu buku dan berwajah biasa-biasa saja bukan berarti Doni tidak pernah punya cinta. Selama kuliah dulu ada seorang gadis manis yang sering minta diajarkan berbagai mata kuliah yang terkenal paling sulit di jurusan Teknik Informatika. Selama tiga tahun mereka selalu bersama-sama. Sampai akhirnya gadis manis itu pergi menikah dengan seorang pengusaha batu bara selepas mereka lulus kuliah. Sejak itu Doni lebih memilih untuk menghabiskan waktunya untuk bekerja dan berkumpul bersama keluarganya saja. Sikap Doni yang tulus dan tidak dibuat-buat membuat saya nyaman bercerita banyak tentang pekerjaan dan kehidupan pribadi saya. Usianya memang lebih muda, tapi pola pikirnya sering membius alam sadar saya.
“Bu, ini sate sama lontongnya. Pakai bumbu kecap kan” Saman office boy di kantor mengantarkan sate pesanan sebagai makan siang saya. Ini sudah memasuki minggu ketujuh. Tapi pesona Doni bukannya memudar. Bahkan ketika Saman mengantarkan sate, saya tiba-tiba teringat kalimat bijaknya “Office Boy di kantor saya adalah orang yang tidak kalah berjasa dalam membangun perusahaan saya. Hal-hal kecil yang dilakukannya akan sangat membantu hal-hal besar yang dilakukan saya dan team saya.” Plaaaaak! Kalimat itu bukan sekedar tamparan tapi seperti menggerogoti telinga saya. Saya malu. Saya ini juga pemilik perusahaan sama seperti Doni. Saya pun secara usia lebih matang. Tapi kenapa menilai seorang office boy pun saya kalah telak darinya. Sambil memasukkan satu persatu sate dan lontong ke mulut, pikiran ini menerawang.
Sebenarnya saya hanya sudah terlanjur hidup dalam dunia saya sedemikian lamanya dan tidak akan mudah bagi saya untuk melihat mata dan mulut mereka yang tertawa melihat seorang Nona akhirnya jatuh dalam dekapan seorang laki-laki makhluk Tuhan yang paling dibenci seumur hidupnya ini. Apa kata Anita, Cindy, Sinta dan semua orang yang mengenal saya. Saya memang naif jika hanya mendengar keluh kesah Anita, Cindy dan Sinta tentang suami dan anak-anak mereka. Tapi saya seperti ingin menafikan fakta lain bahwa segala kelelahan yang mereka reguk seharian dapat terbayar lunas ketika melihat senyum bahagia keluarga. Saya juga seperti ingin mengabaikan fakta bahwa di tengah malam dingin sahabat-sahabatku itu tidak hanya bertemankan selimut hangat. Aaah tiba-tiba saya merasa semua kesombongan yang tertanam kuat di lubuk hati tumbang tak tersisa. Ternyata saya hanyalah seorang munafik yang hidup dalam genangan dendam masa lalu.
Ini minggu kesembilan. Saya tidak tahu sihir dari gunung apa yang dimiliki oleh Doni, dalam kurun waktu hanya delapan bulan saya yang luar biasa gagah dengan pendirian ini bisa jatuh bertekuk lutut kepadanya. Masih teringat jelas untuk pertama kalinya saya memiliki sebuah valentine’s day di tahun ini. Malam itu ia mengajak saya merayakan hari kasih sayang. Sebuah makan malam pertama yang sangat istimewa dengan seorang laki-laki. Ternyata laki-laki tak selamanya menakutkan. Ia menuntun saya berjalan selagi mata ini tertutup kain. Saya merasakan semilir angin membelai kulit tubuh. Dan aaaaah…hati perempuan mana yang tidak berdesir saat melihat sebuah meja makan indah di tengah dermaga pantai. Sekelilingku tampak lampu-lampu temaram mengerling genit. Saya duduk terhanyut saat pemain biola menggesekkan alunan melodi-melodi cinta. Seikat bunga mawar warna merah dipersembahkan kepada saya, Doni berlutut dan mencium tangan saya. Di akhir perjamuan makan malam itu, sebuah kejutan konyol sungguh mengharukan sanubari ini. Sebuah boneka beruang cukup besar dan setumpuk coklat berbentuk hati dihadiahkan kepada saya. “Nona, saya tidak bisa menjanjikan kebahagiaan abadi kepadamu, tapi jika hari ini saya masih bisa bernafas ijinkan saya untuk memberikan cinta yang belum pernah kamu rasakan” Doni mengecup manis bibir ini. Ooh…saya ternyata tidak dapat menyembunyikan sisi melankolis seorang perempuan di kala saya begitu bangga dengan sisi kolerisme selama ini. Saya mengira akan lebih mudah menghilangkan pesona Doni yang baru terbentuk delapan bulan ini sebelum hubungan kami berlanjut lebih jauh. Namun semakin saya berusaha menghapusnya, sosoknya malah semakin jelas menggumpal di otak saya.
“Don, temui saya di café Bravo besok jam 3 sore ya” begitu bunyi pesan Whatsapp yang saya kirimkan ke HP Doni. Di medio Juni ini akhirnya saya bertemu kembali dengan Doni setelah sepuluh minggu saya sering berdialog dengan diri sendiri. “Apa kabar Don?” saya membuka pembicaraan. “Baik Cher, kamu apa kabar?” Aaaah…entah kenapa pipi saya bersemu saat Doni memanggil saya dengan nama panggilan seperti itu. Kami berbincang sekitar enam puluh menit mengenai aktifitas masing-masing selama sepuluh minggu ini.
Hingga akhirnya “Don, hmm…saya ingin kamu tahu sesuatu. Sesuatu yang sudah saya pikirkan selama sepuluh minggu ini melihat dunia tanpa kamu. Adalah baik hidup dalam kesendirian selama 33 tahun ini. Selama ini tidak ada hal yang tidak bisa Nona Arimbi Putri selesaikan tanpa laki-laki. Tapi…kamu, kamu membuat saya sadar sepenuhnya bahwa di usia kamu yang lebih muda ternyata kamu memiliki banyak hal yang bisa saya kagumi. Dan sebagai perempuan yang menjunjung tinggi integritas diri, saya tidak akan malu untuk mengakui itu semua. Karena hanya kamu satu-satunya pejantan tangguh yang dikirimkan Tuhan untuk dapat meruntuhkan semua kearoganan saya. Saya tidak ingin kekaguman ini berhenti sia-sia hanya karena ego saya, hanya karena ketakutan-ketakutan konyol akan harga diri saya. Ketika saya befikir bahwa saya bisa mengakhiri kecanduan akan diri kamu, saya hanya tidak ingin merusak dunia yang sudah saya bangun selama ini dengan kehadiran seorang laki-laki. Namun saya juga sudah meyakini diri ini bahwa ketulusan hati kamu pasti akan mampu untuk menghapus dendam masa lalu saya. Don….”
“Tapi saya tidak bisa Nona. Saya sudah terlanjur menutup hati saya” Doni berkata singkat menjawab penjelasan panjang lebar saya.
Saya terpaku, terdiam dan malu. Ada rasa sedih, sesal yang tidak terkatakan. Sesaat kami terdiam, entah berapa banyak detik yang berlalu tapi saya merasakan waktu seperti berhenti berputar. “Tapi saya tidak bisa untuk berhenti memikirkan kamu Nona. Saya sudah terlanjur menutup hati saya untuk perempuan lain” Doni kemudian menjulurkan lidahnya tanda kegirangan. “Donaaaaaaaaaaaat” aaaah laki-laki memang kurang ajar.
---**---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H