UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) merupakan kebijakan pemerintah yang melarang ekspor mineral mentah dan mewajibkan perusahaan-perusahaan tambang membangun pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) di Indonesia. Kebijakan ini mulai diterapkan pada tanggal 12 Januari 2014 beserta peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM No 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri dan juga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang bea keluar progresif untuk mineral ekspor.
UU Minerba yang melarang ekspor mineral mentah dan mengharuskan perusahaan tambang di Indonesia untuk membangun smelter di dalam negeri tidak hanya ditujukan kepada perusahaan tambang lokal, tetapi juga kepada perusahaan tambang asing di Indonesia, seperti PT Freeport. Penerapan UU tersebut mendapatkan penolakan dari perusahaan-perusahaan tambang karena kebijakan tersesbut dianggap akan merugikan usaha tambang mereka dan penolakan juga datang dari PT Freeport yang sampai mengancam apabila UU tersebut tetap diterapkan, maka perusahaan tersebut akan melakukan PHK masal terhadap karyawannya. Perusahan yang sudah puluhan tahun ada di Indonesia juga tidak mau membangun smelter di Indonesia dan menyatakan akan menarik diri dari Indonesia. Kebijakan UU Minerba juga sampai membuat Richard C Adkerson, Bos Besar Freeport McMoran Copper&Gold Inc mendatangi Menteri Keuangan, Chatib Basri untuk membahas dan seakan-akan mau mengintervensi UU tersebut. Akan tetapi, pemerintah Indonesia tidak memperdulikan ancaman-ancaman tersebut dan dengan tegas menyatakan bahwa akan tetap menerapkan UU Minerba secara konsisten.
Komitmen pemerintah pun menciutkan nyali PT Freeport dan perusahaan tersebut berencana untuk membangun smelter tembaga di Indonesia. PT Freeport Indonesia (Freeport) telah menargetkan ada empat wilayah yang paling mungkin untuk membangun smelter yang didapat berdasarkan hasil pre-feasibility study yang rampung pada Januari kemarin. "Di daerah Jawa Timur itu ada Gresik dan Tuban, dekat dengan smelter yang sekarang. Juga di daerah Polowijo, Sedayu dan di Amama Pare, Papua," kata Direktur Utama Freeport Rozik B Soetjipto.
Selanjutnya, PT Freeport akan mengkaji kembali kelayakan alternatif wilayah tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kesesuaian smelter dengan kapasitas produksi 300 ribu ton tembaga katoda yang kemudian akan dibandingkan wilayah-wilayah tersebut berdasarkan unsur pendukung lainnya. "Januari lalu sudah kami selesaikan pra feasibility study yang dilakukan untuk pembangunan satu smelter dan refinery dengan kapasitas 300 ribu ton tembaga katoda," lanjut Rozik.
Untuk proyek pembangunan smelter tersebut, PT Freeport menyiapkan anggaran sebesar 2,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 24 triliun. "Dari studi awal, total investasi smelter sebesar US$ 2,2 miliar. Makanya kami pilih Antam, karena mereka sudah punya pengalaman banyak (pengolahan tembaga) sehingga diharapkan bisa membuat proyek jauh lebih murah," lanjut Rozik.
PT Freeport melakukan studi kelayakan proyek pabrik pengolahan (smelter) tembaga dengan menggandeng PT Aneka tambang dengan alasan karena PT Antam tersebut memiliki segudang pengalaman sehingga diharapkan bisa membuat proyek tesebut bisa jauh lebih murah. Studi ini akan ememakan waktu selamatiga bulan dan diharapkan rampung pada April 2014. Kedua perusahaan tersebut pun menandatangani penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) untuk mengkaji kelayakan proyek pembangunan smelter tembaga yang dilakukan oleh Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik B. Soetjipto dan Direktur Utama Antam Tato Miraza di kantor Antam. "Baru saja ditandatangani MoU evaluasi kelayakan pembangunan smelter berdasarkan Pre Feasibility Study yang telah dilakukan sejak Januari kemarin," lanjut Rozik.
PT Freeport yang pada awalnya tidak mau membangun smelter, pada akhirnya mau mematuhi amanat dari UU Minerba. Sesungguhnya UU tersebut dibuat oleh pemerintah agar barang tambang di Indonesia bertambah nilainya dengan diolah dan dimurnikan menggunakan smelter dan ekspor barang mentah secara besar-besaran tidak terjadi lagi yang pada nantinya kebijakan tersebut akan menguntungkan dan memakmurkan Indonesia. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan tambang lokal diharapkan untuk membangun smelter di Indonesia atau apabila terbentur masalah biaya mungkin bisa melakukan kerjasama dengan perusahaan tambang lain atau meminta bantuan kepada pemerintah untuk membangun smelter demi kemajuan Indonesia. Perusahaan tambang asing saja mau, masa perusaahaan tambang lokal tidak?!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H