Perselisihan kontrak kerjasama antara PT Hotel Indonesia Natour dengan PT Grand Indonesia sampai saat ini belum menunjukan titik terang. Kerja sama tersebut terkait pengembangan lahan di kawasan superblok Hotel Indonesia melalui perjanjian Build, Operate dan Transfer (BOT). Dalam hal ini, Grand Indonesia sebagai penerima hak BOT dari HIN. Kejagung dikabarkan masih melakukan penyidikan terkait dengan temuan BPK yang menilai bahwa negara berpotensi dirugikan akibat kerja sama tersebut.
Kasus ini bermula dari pemeriksaan BPK dalam dokumen resume nomor 02/AUDITAMA VII/01/2016 yang menyebutkan bahwa kerja sama antara HIN dengan CKBI tidak sesuai dengan proses perencanaan awal. Atas temuan itu kemudian PT HIN mengajukan gugatan hingga kasus ini diperiksa oleh Kejaksaan Agung. Pada gugatannya, Grand Indonesia dinilai telah merugikan negara akibat dari pendirian dua bangunan, Menara BCA dan Apartemen Kempinski, serta perpanjangan kontrak oleh pihak GI pada tahun 2010.
Tidak mungkin rasanya bila kita berpikir bahwa lembaga tinggi negara seperti BPK akan melakukan kesalahan dalam tugasnya. Namun, hal tersebut bisa saja terjadi, karena pendirian dua menara yang dikatakan merugikan negara tersebut, sebenarnya telah tercantum sejak awal kontrak kerja sama BOT antara PT HIN serta Grand Indonesia.
Pada isi kontrak kerja sama tersebut tertulis jelas pada pasal 1.2 “Gedung dan fasilitas penunjang adalah bangunan-bangunan dan segala fasilitas pendukung yang wajib dibangun dan/atau direnovasi penerima hak BOT di atas tanah, yaitu, antara lain, pusat perbelanjaan, hotel, dan bangunan-bangunan lainnya, berikut fasilitas parker serta fasilitas penunjang lainnya.”
[caption caption="sumber : assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/09/antara-lain-1-56e01f474f7a6130078b4569.jpg?v=600&t=o"][/caption]
Pada ayat tersebut dikatakan bahwa penerima hak BOT dapat mendirikan fasilitas penunjang lainnya. Sedikit lucu adalah ketika PT HIN mempermasalahkan kedua bangunan tersebut, padahal PT HIN sendiri terdapat pada lantai 39 menara BCA. Jadi logikanya adalah tidak mungkin PT HIN tidak mengetahui rencana pembangunan kedua menara tersebut.
Kemudian pada jumlah kerugian negara pada saat perpanjangan kontrak merupakan hitungan yang dilandaskan pada pendapatan dan nilai proyek pada tahun 2014. Sedangkan opsi perpanjangan telah dilakukan pada tahun 2010, dimana Rp 400 M telah dibayarkan oleh pihak PT GI untuk perpanjangan selama 20 tahun, yang dihitung berdasarkan 25% x Rp1,54 Triliun (nilai NJOP yang berlaku pada saat opsi perpanjangan itu disepakati yaitu tahun 2010). Hal ini tidak bisa dibernarkan, karena nilai NJOP akan terus bertambah. Selain itu, apa maksud dari PT HIN yang kini mempermasalahkan hal tersebut, padahal pada tahun 2010 perlu diketahui bahwa yang mengajukan opsi perpanjangan adalah adalah PT HIN kepada PT GI melalui surat No. 1103/DIRUT/HIN/11/2010 tanggal 15 November 2010. Langkah tersebut diambil oleh PT HIN pada 2010 yang sedang membutuhkan dana cair untuk renovasi hotel Inna Putri Bali dan Inna Muara Padang.
Atas dasar inilah, sepertinya kita harus mengatakan bahwa BPK harus lebih jeli lagi dalam melakukan pemeriksaan pada kasus lainnya. Pun bila ternyata nanti ditemukan bukti yang menyatakan bahwa terdapat kesalahan kontrak kerja sama yang dilakukan, maka hal ini tidak bisa serta merta menjadi urusan pidana. Pada perjanjian bisnis, kita tahu bahwa setiap permasalahan merupakan kasus perdata di mata hukum, dan seiring berjalan waktu apabila ditemukan pelanggaran, maka langkah yang harus ditempuh adalah dengan membuat revisi kontrak kerja sama tersebut. Kasus tersebut pada akhirnya akan masuk dalam ranah hukum perdata.
Lantas apa yang mendasari Kejagung untuk menyelidiki kasus ini layaknya sebuah kasus pidana? Apakah ini adalah sebuah cara baru yang ditempuh demi mendapatkan citra baru di masyarakat? Atau memang ingin membuat sejarah baru dalam dunia tata hukum di Indonesia? Kita tunggu saja bagaimana kasus ini akan berakhir.
Sumber: