Realita hukum waris yang berkembang pada masyarakat Indonesia bersifat plural (majemuk), artinya terdapat beragam sistem hukum yang berada dalam suatu.Â
Kehidupan sosial.[1] Pluralistiknya sistem hukum waris di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh pengaruh sistem hukum yang pernah hidup dan berkembang sejak era pra penjajahan Belanda sampai saat sekarang ini, namun juga sistem kekeluargaan yang beragam.
Adat istiadat masyarakat yang juga dikenal sangat bervariasi. Terdapat tiga sistem hukum waris yang berkembang dan berlaku di Indonesia: hukum waris Islam, hukum waris Adat dan hukum waris Barat. Masing-masing dari sistem hukum ini dibangun berdasarkan kerangka dan realitas hukum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.[2]
 Hukum waris Islam dibangun di atas landasan ajaran Islam, dan secara normatif bersumber dari ayat-ayat al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad SAW.Â
Sekalipun demikian, kondisi sosiokultural masyarakat Arab kala turunnya wahyu turut serta mempengaruhi konstruksi hukum waris Islam. Konstruksi hukum waris Barat tentu berbeda dengan hukum waris Islam. Hukum Waris Barat merupakan peninggalan zaman Hindia Belanda yang bersumber pada BW (Burgerlijk Wetboek) yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP).
Ia berdiri di atas bangunan paham Barat yang menganut paham individualisme, yaitu seseorang secara individu memiliki kebebasan dan kemerdekaan secara mutlak. Untuk memiliki dan membelanjakan harta yang diperolehnya baik melalui warisan maupun yang lain tanpa terikat oleh tuntutan sosial.
 Dalam masyarakat Adat, filsafat yang melandasi bangunan hukum waris adat adalah nilai-nilai tanggung jawab bersama dan komunalitas yang kemudian menjadi nilai essensial dalam kehidupan. Peran tokoh adat dan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal (local wisdom) yang dianut menjadi pertimbangan penting dalam hukum waris Adat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H