Mohon tunggu...
Bima Prakosa
Bima Prakosa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Urip mung mampir guyuu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Golput: Cara Paling Sederhana Melawan Oligarki Perusak Demokrasi

29 Oktober 2023   10:48 Diperbarui: 29 Oktober 2023   10:50 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam masyarakat jawa ada adagium inggih tapi ora kepanggih. Pemakaian adagium ini dapat dilihat dalam contoh kasus seperti ini. Ada seorang tuan tanah mendatangi buruh tani untuk meminta mengerjakan sawah pada besok pagi. Pada saat tuan tanah meminta hal itu kepada si buruh tani dijawab dengan kata "Inggih". Dengan jawaban semacam itu, kita dapat memastikan bahwa si buruh tani akan datang. Ternyata keesokan harinya si buruh tani tidak datang ke sawah. Hal itulah yang disebut dengan "Inggih tapi ora kepanggih". Apa yang dilakukan oleh buruh tani tersebut merupakan bentuk perlawanan yang paling sederhana. Lantas kenapa si buruh tani melakukan hal tersebut? Bisa saja buruh tani pernah mengalami kondisi tidak dihargai kerjanya oleh sang majikan dengan diberikan upah kecil atau sering dimarahi. Dari situ kemudian si buruh merasa dirugikan dan kapok memenuhi permintaan si majikan. Tetapi kenapa saat di depan si tuan tanah, buruh tani tidak mengatakan "tidak" malah mengatakan "inggih"? Hal itu terjadi karena posisi dia dengan orang yang menyuruh tidak setara. Pola relasi yang timpang menyebabkan salah satu mengalami kondisi yang lemah, hanya dengan cara itulah si buruh tani yang lemah melakukan protes atau perlawanan terhadap si tuan tanah.

Dari contoh kasus di atas kita dapat mengetahui bahwa masyarakat dengan status yang lemah dan terpinggirkanpun bisa melakukan perlawanan meskipun dengan cara yang sangat sederhana. Perlawanan dengan cara yang sederhana itu juga terjadi dalam kontestasi politik atau pemilihan umum. Bentuk perlawanan itu biasa disebut Golput atau golongan putih. Pada dasarnya golput adalah gerakan perlawanan atau bisa juga disebut pembangkangan. Dalam hal ini yang melawan adalah rakyat dan yang dilawan adalah sistem dan oligarki partai politik. Posisi masyarakat di hadapan elite partai dan oligarki sistem sangat lemah, sama halnya dengan posisi buruh tani dengan tuan tanah. Dalam ketimpangan relasi semacam itu, maka golput adalah gerakan perlawanan paling sederhana yang bisa dilakukan.

Fenomena politik yang disebut golput merupakan sikap protes politik dan dalam pengertian yang lebih jauh menggambarkan bentuk ketidakpatuhan simbolik. Sebagai aksi politik, golput merupakan bentuk perlawanan terhadap apa yang dipersepsikan sebagai ketidakadilan. Tindakan golput bukan berarti menolak bangunan sistem atau pemerintahan secara keseluruhan, melainkan perlawanan terhadap perilaku yang tidak adil. Melalui perlawanan dalam bentuk golput, masyarakat hendak menyatakan bahwa ada yang tidak baik-baik saja dalam sistem pemerintahan. Selain itu, cara ini juga bentuk perlawanan masyarakat terhadap partai politik, karena parpol hanya memikirkan kelompoknya masing-masing dan tidak memikirkan masyarakat. Parpol terjebak dalam politics for it self, bukan politik untuk kebaikan masyarakat. Perlawanan ini juga menegaskan bahwa ada perbedaan kepentingan antara aktor politik dalam pemerintahan dengan kepentingan masyarakat. Sebagai senjata orang lemah dalam melakukan perlawanan terhadap elite dan oligarki kekuasaan, golput adalah tindakan kriminal politis yang direstui karena fungsinya sebagai protes.

Di Indonesia, istilah golongan putih muncul menjelang pemilu pertama di zaman orde baru pada tahun 1971. Gerakan tidak memilih ini di prakarsai oleh kakak dari Soe Hok Gie bernama Arief Budiman. Gerakan itu dilakukan Arief Budiman karena menganggap aturan main berdemokrasi pada waktu itu tidak ditegakkan dan cenderung di injak-injak. Melalui cara golput, masyarakat melakukan perlawanan dengan harapan dapat menawarkan sebuah model gerakan moral yang pada akhirnya akan menghasilkan perubahan.

Dalam kondisi politik yang carut marut menjelang pemilu tahun 2024, di mana dengan jelas aturan demokrasi kita telah di injak-injak. Partai politik sibuk mencari cara agar memperoleh kemenangan, sehingga lalai dan tidak memikirkan masyarakat. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kondisi ruang demokrasi politik kita hari ini telah rusak. Melihat kerusakan tersebut, apakah gerakan perlawanan melalui cara golput akan terjadi? Kita lihat saja nanti faktanya seperti apa.

Lalu bagaimana hukum mengatur orang-orang yang golput?

Dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum (UU Pemilu), pada pasal 198 ayat (1) menyatakan bahwa "Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin memiliki hak memilih."

Sehingga dapat diartikan bahwa hak menyatakan pilihan politik dengan cara golput merupakan bagian dari hak warga negara dalam mengekspresikan pikirannya dan bukan merupakan sebuah perbuatan yang melanggar hukum.

Namun dalam unsur perbuatan pidana yang bersinggungan dengan sikap golput, tercantum pada UU Pemilu pasal 515 yang berbunyi:

"Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) rahun dengan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)."

Namun, jika memperhatikan unsur "dengan sengaja menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya," maka yang dapat dikenai sanksi pidana hanya orang yang menggerakan orang lain untuk golput dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya. Maka jika kita menggerakan orang untuk golput tanpa menjanjikan atau memberikan uang atau materi tertentu tidak dapat dipidana. Sehingga perlawanan melalui cara golput sah dilakukan sebagai bentuk kritik terhadap sistem pemerintahan yang tidak baik-baik saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun