negara berasal dari pajak. Sehingga pajak kerap kali disebut sebagai tulang punggung negara dalam membiayai pembangunan serta penyelenggara dan abdi negara. Pajak memiliki peran krusial dalam sejarah Indonesia, termasuk pada era kolonial Belanda. Selama berabad-abad, sejak masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) hingga masa pemerintahan Hindia Belanda, fungsi pajak tidak hanya sebagai sumber pendanaan bagi negara, tetapi juga sebagai sarana untuk mengontrol aspek sosial dan ekonomi masyarakat.
Sebagian besar pendapatanAwal Sistem Pajak Kolonial
Sistem pajak kolonial Belanda mulai diterapkan secara terstruktur sejak masa VOC pada abad ke-17. Sebagian kongsi dagang, VOC memonopoli perdagangan rempah-rempah dan memaksakan berbagai bentuk pungutan kepada masyarakat setempat, seperti pajak hasil bumi (contingenten)ndan kerja paksa (verplichte leveranties). Dalam konteks ini, pajak lebih sering dijadikan stigma pemerasan dibanding kewajiban yang adil.
Ketika VOC bangkrut pada akhir abad ke-18, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kendali atas Nusantara. Pada masa ini, pajak mulai dikelola secara lebih terorganisir. Salah satu contohnya adalah pelaksanaan sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel pada tahun 1830 di bawah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Melalui sistem ini, petani diwajibkan menggunakan 20% lahannya untuk menanam tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila. Hasilnya diserahkan kepada pemerintah kolonial untuk diekspor ke Eropa tanpa imbalan yang setara. Sistem ini sangat menguntungkan Belanda, namun menyebabkan penderitaan besar bagi rakyat. Bahkan, banyak daerah mengalami kelaparan akibat kebijakan ini.
Pajak Tanah dan Pajak Kepala
Pada akhir abad ke-19, setelah tanam paksa mulai ditinggalkan, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem pajak tanah (landrente). Pajak ini dikenakan berdasarkan luas tanah yang dimiliki atau digarap oleh masyarakat. Sayangnya, penghitungan pajak sering tidak adil karena kurangnya data yang akurat dan korupsi di tingkat lokal.
Selain itu, masyarakat juga dikenakan pajak kepala (hoofdgeld), yaitu pungutan berdasarkan jumlah penduduk di suatu wilayah. Pajak ini dianggap memberatkan, terutama bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan. Tidak membayar pajak kepala bisa berujung pada hukuman fisik atau kerja paksa.
Fungsi Pajak sebagai Alat Penindasan
Pada dasarnya, pajak di masa kolonial bukan hanya alat pengumpulan pendapatan, tetapi juga sarana penindasan. Sistem ini memperkuat stratifikasi sosial, di mana pribumi diposisikan sebagai kelas pekerja yang harus mendukung kebutuhan ekonomi kolonial. Keuntungan besar yang diperoleh Belanda dari hasil pajak tidak pernah digunakan untuk kesejahteraan rakyat di Nusantara. Sebaliknya, infrastruktur yang dibangun, seperti jalan dan jalur kereta api, bertujuan memperlancar eksploitasi sumber daya alam.
Meskipun masa kolonial telah berakhir, beberapa aspek sistem pajak yang diperkenalkan Belanda tetap memengaruhi kebijakan fiskal Indonesia modern. Sistem pajak tanah, misalnya, menjadi cikal bakal sistem pajak bumi dan bangunan (PBB). Sementara itu, ide tentang struktur pajak progresif mulai dikenalkan pada akhir abad ke-19 dan menjadi bagian penting dari sistem perpajakan saat ini.
Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana sistem pajak kolonial menunjukkan pentingnya tata kelola pajak yang adil dan transparan. Sejarah ini mengingatkan kita bahwa pajak bukan sekadar kewajiban, tetapi harus menjadi alat yang mendukung kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya.