(Pemimpin Yang Baik Tidak Mengharap Upah, Tapi Mengharap Perubahan)
Upah yang ditetapkan di Indonesia untuk para pemimpin/pejabat tertinggi sudah diatur dalam UUD 1945 baik berupa gaji pokok maupun tunjangan dan beserta fasiltas lainnya. Misalnya saja Besaran gaji yang diterima oleh Presiden dan Wakil Presiden RI, saat ini masih mengacu pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden serta Bekas Presiden dan Wakil Presiden. Dalam pasal 2, dicantumkan bahwa gaji pokok Presiden adalah enam kali gaji pokok tertinggi pejabat di Indonesia selain Presiden dan Wakil Presiden.Â
Sementara gaji pokok Wakil Presiden adalah empat kali gaji pokok tertinggi pejabat selain Presiden dan Wakil Presiden, jadi jika kita akumulasikan menurut Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2000, gaji pokok tertinggi pejabat negara (Ketua DPR, MA, BPK, dll) adalah sebesar Rp. 5.040.000 per bulan. Dengan demikian, dapat dihitung, besarnya Gaji Pokok Presiden RI per bulan = 6 x Rp. 5.040.000 = Rp. 30.240.000.Â
Sedangkan Gaji Pokok Wakil Presiden per bulan = 4 x Rp. 5.040.000 = Rp. 20.160.000. bisa kita lihat dengan jelas bahwa gaji seorang pemimpin khususnya di Indonesia sangat tinggi bahkan jabatan terendah sebagai kepala daerah memilki gaji yang besar pula.Â
Tapi mengapa, pemimpin kita pada saat ini tidak merasa cukup atas apa yang telah mereka dapatkan, mereka masih saja mengambil hak orang lain dengan jalan korupsi atau suap menyuap.Â
Mana pepatah dulu yang mengatakan bahwa memimpin adalah menderita. Kita liat konkrit para pemimpin saat ini tak ada kata menderita dalam kepemimpinannya. Hidup bahagia dengan harta dan tahta, mereka lupa bahwa rakyat yang merasakan penderitaan akibat hak yang seharusnya mereka dapatkan dikeruk oleh orang yang telah mereka beri kepercayaan dengan memilihnya sebagai pemimpin.
Saat ini menjadi pemimpin adalah sesuatu yang begitu banyak di idam-idamkan banyak orang, bagaimana tidak, gaji besar, duduk santai diruang ber-AC lalu mendapatkan berbagai fasilitas dan tentunya perekonomian keluarga akan meningkat, status akan naik dan mimpi-mimpi yang belum terealisasikan akan terwujud. mereka akan melakukan apapun demi menjadi seorang pemimpin bermodal spanduk, visi misi tersurat, dan bermodal janji-janji manis yang berujung sakit hati Karena semua itu tak terealisasikan.
Saat ini pula menjadi pemimpin bukan berlomba mana kinerja yang terbaik agar rakyatnya membaik. Tetapi berlomba mana mobil yang termahal, rumah yang mewah dan pakaian yang berkelas. Memimpin hanya untuk meningkat status sosial disaat rakyat menjerit dengan kehidupan yang rumit.Â
Pepatah lama memimpin adalah menderita saat ini sudah tak berlaku lagi, itu hanya sebuah pepatah yang dianut oleh orang yang benar-benar pemimpin dulu atau mungkin pemimpin saat ini jika ada.
Mana pemimpin yang seperti umar bin khattab yang bahkan walaupun ia dalam kondisi yang sulit tetap rakyat adalah prioritas utama dalam hidupnya. Hidup sederhana dengan makan secukupnya dan pakaian yang ala kadarnya. Bahkan ia tidak akan makan terlebih dahulu jika rakyatnya lapar dan akan makan belakangan disaat rakyatnya telah kenyang. Pakaian Umar bin Khattab pun hanya 2, oleh karena itu ia sering terlambat dalam sholat jumat karena menunggu pakaiannya kering.
Bisa kita lihat juga pemimpin di Indonesia seperti, Kisah Agus Salim, yang pernah menjabat menjadi Menteri Luar Negeri pertama dan sampai akhir hayatnya (tahun 1954) menjadi penasehat Menlu, begitu dekat dengan kemiskinan. Menguasai 7 bahasa asing, lihai berdiplomasi, menurut Prof. Schermerhon hanya satu kelemahan Agus Salim yaitu selama hidupnya selalu melarat dan miskin.