Poligami adalah praktik perkawinan di mana seseorang memiliki lebih dari satu pasangan hidup secara bersamaan.
Dalam konteks agama Islam, poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Pahala besar juga dijanjikan bagi istri yang mengizinkan suaminya untuk berpoligami. Meskipun diizinkan, praktik poligami tetap menuai kontroversi dan pandangan yang beragam di masyarakat.Dalam Undang-Undang Peradilan Agama, poligami diatur dengan ketat, termasuk syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pria dapat memiliki lebih dari satu istri. Namun, pengertian poligami di Indonesia masih dilihat sebagai hal yang membingungkan, dan seringkali menuai perdebatan.Salah satu contoh yang menunjukkan pandangan yang beragam terhadap poligami adalah kisah seorang istri yang rela dipoligami oleh suaminya. Istri pertama ini bahkan membuat undangan pernikahan untuk istri kedua suaminya agar tidak ada fitnah. Tindakan ini menunjukkan kompleksitas dalam memahami dan menerima praktik poligami di masyarakat.Dengan adanya pandangan yang beragam, penting untuk memahami bahwa poligami bukanlah praktik yang sederhana dan dapat menimbulkan dampak emosional dan sosial yang kompleks. Oleh karena itu, diskusi terbuka dan pemahaman yang mendalam tentang poligami sangat diperlukan untuk mengatasi kontroversi dan perdebatan seputar praktik ini.Meski begitu, sebuah pengajuan izin berpoligami dapat atau harus diajukan ke Pengadilan agama dan memberikan alasan yang sah, lalu Pengadilan Agama akan memberikan izin ketika memeriksa dan mendengarkan keterangan istri dari sang suami yang akan melalukan poligami tersebut . Poligami adalah suatu sistem perkawinan dimana salah satu pihak mengawini atau mengawinkan beberapa lawan jenis dalam waktu yang bersamaan. Dasar hukum poligami di Indonesia dapat ditemukan dalam UU Perkawinan dan KHI
Pada dasarnya asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hal ini dapat dipahami Dari surat an-nisa' ayat (3) yang berbunyi 3. Yang artinya "Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat"
Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.kendati Allah SWT Memberi peluang untuk beristri sampai empat Orang, tetapi peluang itu dibarengi oleh syarat syarat yang sebenarnya cukup berat untuk Ditunaikan kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Allah SWT membarengi kebolehan berpoligami Dengan ungkapan "jika kamu takut atau cemas Tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah Satu perempuan saja". Firman Allah SWT surat An-Nisa' ayat (3) tersebut selalu dipahami Sebagai dasar kebolehan berpoligami.Dalam Ayat tersebut untuk kebolehan berpoligami hanya Dipersyaratkan dapat berlaku adil. Hal ini dipahami Secara kontradiktif dari mafhum ayat yang jika Diungkapkan secara lengkap akan menjadi "jika Kamu tidak yakin dapat berlaku adil cukupkanlah Dengan isteri satu saja, namun apabila kamu Benar-benar yakin akan dapat berlaku adil, Silahkan menikahi perempuan dua atau tiga atau Empat sebagai istrimu. "Secara implisit Al Qur'an membolehkan Poligami, namun tidak menentukan persyaratan Apapun secara tegas, kecuali hanya memberikan Caution "apakah kamu yakin apabila berpoligami Nantinya akan mampu berlaku adil, karena adil Itu sangat berat, Allah sebagai pencipta manusia yang maha mengetahui bahwa kamu tidak akan mampu Berlaku adil secara hakiki, namun berhati-hatilah Jangan sampai kamu secara bersahaja lebih Mencintai sebagian istrimu dan mengabaikan Yang lain".. Dengan demikian adil yang dinyatakan Dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 3 dan Ayat 129 bukan merupakan syarat kebolehan Berpoligami, melainkan kewajiban suami ketika Mereka berpoligami. Hal ini senada dengan apa Yang diungkapkan oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen Berikut :
"Syarat adil bagi kebolehan berpoligami Bukanlah syarat hukum, akan tetapi ia adalah Syarat agama dengan pengertian bahwa Agama yang menghendakinya, karena yang Dikatakan syarat hukum itu adalah yang Dituntut adanya sebelum adanya hukum, Seperti wudhu' selaku syarat sahnya shalat, Dituntut adanya sebelum shalat, karena shalat Tidak sah dilakukan kecuali dengan wudhu'. Maka shalat dan wudhu' tidak dapat berpisah Selama shalat belum selesai, sedangkan Adil tidak dapat dijadikan syarat hukum Sahnya poligami, karena adil itu belum dapat Diwujudkan sebelum terwujudnya poligami.Oleh karena itu adil adalah syarat agama Yang menjadi salah satu kewajiban suami Setelah melakukan poligami.Selain itu syarat Hukum mengakibatkan batalnya hukum ketika Batal syaratnya, tetapi syarat agama tidak Demikian, melainkan hanya mengakibatkan Dosa kepada Tuhan.Jadi suami yang tidak Berlaku adil dia berdosa dan dapat diajukan Kepada mahkamah dimana qadhi dapat Menjatuhkan kepadanya hukuman ta'ziir.Akan Tetapi kalau kita jadikan adil itu syarat hukum Bagi kebolehan berpoligami, maka ketika Suami tidak berlaku adil, nikahnya menjadi Batal.Dalam hal ini ternyata tidak seorang Quip dari kalangan ulama berpendapat Demikian. Jika kita memandang bahwa adil itu Tidak menjadi syarat hukum bagi kebolehan Berpoligami, maka ketiadaan adil tidak dapat Dijalan mani' (penghalang) bagi kebolehan Berpoligami." (Prof. KH Ibrahim Hosen, 1971)Dari penuturan Prof. KH Ibrahim Hosen di Atas, bahwa adil yang dimaksud oleh al-Qur'an Surat an-Nisa' ayat 3 dan ayat 129 adalah adil Sebagai syarat agama bukan syarat hukum Kebolehan berpoligami.Oleh karena itu pada Dasarnya kebolehan berpoligami itu adalah Mutlak dan adil itu merupakan kewajiban bagi Suami terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka Karena tuntutan agama. Dalam hal adil ini,Apakah terhadap isteri tunggal dalam perkawinan monogami tidak dituntut berlaku adil, hanya saja Kapasitas adil dalam perkawinan poligami lebih Berat, karena itulah Allah SWT memberikan Caution agar berhati-hati dan tidak secara sengaja Lebih senang atau cenderung bersikap lebih Mencintai sebagian isteri dengan mengabaikan Yang lain.Syarat-syarat dan alasan-alasan hukum Kebolehan berpoligami yang kita temui dalam Hukum Islam dewasa ini merupakan hasil ijtihad Para ulama dalam lingkup kajian fiqh, sehingga tidak Tertutup kemungkinan untuk ditransformasikan Kedalam hukum positif sebagai hukum Islam Yang bercorak lokal dan disesuaikan dengan Kondisi dan kebutuhan hukum masyarakat Islam Setempat, seperti di Indonesia, lahirnya Kompilasi Hukum Islam dalam rangka pembentukan unifikasi Hukum Islam yang berlaku bagi muslim Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H