Pelaku kriminal adalah pelaku dari tindak melanggar hukum yang berlaku baik itu perdata maupun pidana. Tindakan ini adalah tindakan yang dinilai dapat merugikan korban dan juga sangat merugikan masyarakat karena dapat menghilangkan keseimbangan, kedamaian, dan ketertiban dalam lingkungan masyarakat. Perilaku ini menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan sebagai warga negara yang baik. Perilaku kriminal dapat berupa pembunuhan, tindak kekerasan, pemerkosaan, pencurian, perampokan, perampasan, penipuan, penganiayaan, penyalahgunaan zat dan obat, dan banyak lainnya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan, terhitung ada sebanyak 11.116 anak di Indonesia yang terjerat kasus kriminal dari awal tahun 2011 hingga akhir tahun 2018. Di tahun 2019, tercatat 147 anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku kekerasan fisik dan psikis. Angka-angka ini konsisten berada pada angka diatas 100 anak sebagai pelaku pertahunnya. Namun, kabar baiknya di tahun 2020 angka ini menurun hanya menjadi 69 anak sebagai pelaku kekerasan fisik dan psikis. Ini adalah kabar baik sebab angka yang selama ini konsisten diatas 100 akhirnya dapat turun menjadi 69 saja, atau bahkan ini bukan lah kabar baik karena bisa jadi ada banyak angka yang luput dari pantauan kita semua.
Dilansir dari artikel berjudul "Bocah SD yang Tega Bunuh ODGJ di Lebak Pernah Jadi Korban Perundungan" yang dipublikasikan oleh regional.kompas.com, menyebutkan bahwa dua dari empat remaja yang melakukan tindak pidana ini merupakan korban dari perundungan anak seusianya. Kedua remaja yang masih berusia 13 tahun itu menerima perundungan berbentuk verbal baik dari lingkungan rumah maupun lingkungan sekolah, hal inilah yang diduga sebagai pemicu terjadinya tindakan kriminal tersebut.
Kasus yang tak jauh berbeda terjadi pada Selasa (27/6) dini hari, di SMP Negeri 2 Pringsurat Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Seorang pelajar berusia 14 tahun nekat membakar gudang ruang prakarya sekolahnya dan menyebabkan api menjalar, ikut melahap 2 kelas di sekitarnya. Kebakaran ini menyebabkan sekolah menanggung kerugian sebesar Rp 150 juta dan pelajar yang duduk di kelas VII SMP itu terjerat pasal 187 KUHP dengan ancaman penjara 12 tahun, tetapi pelaku anak hanya dijatuhi hukuman dari hukuman orang dewasa sesuai dengan UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak.
Begitu besar dampak yang ditimbulkan dari perilaku ini membuat kasus ini menyita perhatian publik terlebih pelaku dari kejadian ini hanyalah remaja tanggung berusia 14 tahun yang dianggap belum mengerti sepenuhnya mengenai konsekuensi dari perbuatannya sendiri. Tanda tanya besar pun muncul di pikiran orang ramai, apa yang membuatnya nekat melakukan hal tersebut? Setelah dilakukan upaya pendampingan dan sebagainya, diketahui bahwa alasan pelajar berinisial R ini melakukan tindakan ini karena terlampau muak dan sakit hati lantaran sering menjadi korban perundungan oleh teman-temannya dan merasa tugasnya tidak dihargai oleh guru.
Dikutip berdasarkan hasil wawancara yang saya lakukan kepada seorang Psikolog asal Aceh, Bu Karjuniwati, M.Psi. lulusan Universitas Islam Indonesia yang sekarang menjadi dosen di Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan juga berpraktek sebagai psikolog klinis. Kerap kali Bu Karjuniwati M.Psi. mengisi kegiatan seminar berkaitan dengan kasus kekerasan anak dan perempuan. Beliau juga bergerak dalam lembaga IKAN (Ikatan Keluarga Anti Narkoba). Terkait kasus-kasus berhubungan dengan meledaknya amarah korban pelaku perundungan sehingga menjadi pelaku kriminal beliau berkomentar, "Korban dari kasus perundungan cenderung orang yang tidak asertif atau pasif, jadi korban dinilai 'lemah' oleh orang disekitarnya terbukti dari ia mendapat perundungan baik di lingkungan sekolah maupun rumah. Dampak bagi korban sendiri dalam sisi psikologisnya secara pikiran ia akan bertanya-tanya, kenapa aku? Apa karena aku lemah atau aku salah? Dan mulai berpikir bahwa ia adalah sosok yang rendah, hal ini akan membuat perasaannya negatif pula. Ia akan merasa sedih atau marah karena menjadi korban dari kasus ini dan perasaan-perasaan negatif tentunya akan melahirkan perilaku negatif pula."
"Banyak faktor yang bisa terjadi karena si anak ini mendapat tekanan sehingga ia tidak punya power untuk melawan. Meskipun begitu, anak-anak yang sering di-bully ini menyimpan dendam yang luar biasa tetapi ia tidak punya power. Nah, dendam ini kemudian menumpuk dan terus menumpuk. Sebagai manusia kita semua mempunyai batasan yang ketika nanti ia sudah tak sanggup lagi menampung, maka meledaklah dendam ini sehingga ia yang awalnya menyimpan dendam sebagai korban meluap menjadi pelaku kriminal, ini adalah bentuk pemberontakannya," tambah Psikolog tersebut pada Rabu, (5/7/23).
Kasus-kasus seperti ini ternyata sangatlah sering terjadi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di luar negeri sendiri cukup banyak kita temui apabila kita menuliskan kata kunci tersebut di laman pencarian, rata-rata anak yang mengalami bullying tersebut meluapkan dendamnya dengan membunuh pelaku bullying, menyekap teman-temannya, bahkan menembak mati gurunya sendiri. Ini adalah mimpi buruk yang mengejar-ngejar bangsa Indonesia apabila hal semengerikan ini mulai terjadi di tanah air kita tercinta. Lantas apa saja tindakan yang harus kita lakukan untuk mencegah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan? Sebab meskipun di Indonesia telah memiliki Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, masih tak dapat disangkal bahwa perundungan masih merajalela di berbagai bangunan sekolah yang seharusnya menciptakan suasana nyaman untuk mendukung pembelajaran.
Kelanjutan dari kasus pembakaran sekolah yang dilakukan oleh remaja berusia 14 tahun di daerah Temanggung tersebut dikawal langsung oleh Pak Ganjar Pranowo selaku gubernur Jawa Tengah. Dikutip dari akun twitter @ganjarpranowo pada Ahad, (2/7/23) lalu menuliskan, "Saat ini, anak tersebut sudah dalam penanganan oleh Peksos dan sudah mendapat pendampingan psikolog dari Dinsos Temanggung. Teruntuk permasalahan sudah dilakukan restorative justice dengan pihak-pihak terkait. Kita berusaha memberikan solusi yang terbaik untuk semua pihak."
Tindakan berupa pendampingan psikolog dari Dinas Sosial Temanggung untuk remaja tersebut menurut saya adalah hal yang sangat tepat. Sesuai dengan penjelasan dari narasumber saya, anak tersebut masih dalam proses mencari-cari jati dirinya sendiri, meminta validasi, bahkan cenderung tidak puas atau merasa ada yang salah dengan apa yang ia genggam saat ini. Pelaku pembakaran sekolah itu juga belum sepenuhnya mengerti bagaimana dunia bekerja. Oleh sebab itulah, sangat diperlukan pendampingan Psikolog untuk membantunya dalam proses penguatan, pengertian, dan penerimaan agar ia menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Merundung dan dirundung kembali sudah seperti sebuah lingkarang setan di negara ini, hukuman sosial berupa pengucilan, makian dan sebagainya kepada pelaku perundungan anak, bukankah termasuk dengan perlakuan perundungan? Bu Karjuniwati, M.Psi., memandang hukuman sosial tersebut benar termasuk perundungan, karena kembali ia menyerang atau menyakiti korban. Namun, ini tidak bisa serta merta dianggap baik untuk dihilangkan karena tergantung pada kasusnya. Apabila sang pelaku anak sudah mendapatkan pendampingan khusus oleh Psikolog atau pihak berwenang lainnya maka sebaiknya hukuman sosial ini tidak ada lagi, karena takutnya akan menimbulkan masalah baru yaitu si anak merasa trauma atau feeling guilty yang berlebihan dan bisa memicu depresi.