[caption id="attachment_364741" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi (Shutterstock/Kompas.com)"][/caption]
Dari awal sampai selesai saya melakukan perjalanan panjang itu, pertanyaan demi pertanyaan tentang berapa banyak uang yang saya bawa dan habiskan sampai pertanyaan apakah saya punya sponsor untuk ini semua, terkadang membuat jengah. Kepo kata anak sekarang. Dan puncaknya pertanyaan, apakah saya meminta itu semua dari orang tua? Widihhhh... sadis amat nanyanya.
Lalu saya pikir-pikir pertanyaan demi pertanyaan itu menjadi wajar, karena saya sedang tidak bekerja saat itu. Â Lah, terus dapat dari mana uang untuk membiayai itu semua?
Saya sering disebut banyak uang. Tentu saya harus meng-amin-kan. Mau apa lagi coba? Bilang tidak punya uang, ya saya memang punya uang. Sombong? Tidak juga. Saya hanya mengiyakan apa yang mereka katakan.
Tidak tahukah kamu, betapa perihnya berhemat itu. Ketika semua orang sibuk memilih baju-baju modis, berburu makanan enak di resto-resto keren, kongkow di tempat-tempat yang sedang happenning, dan mengganti gadget dengan keluaran paling baru, saya sibuk mengunci semua ingin itu.
Sibuk menyisihkan pendapatan saya bekerja setiap bulan selama bertahun-tahun bekerja di beberapa perusahaan, alokasinya hampir 20 - 40% dari yang saya terima. Belum termasuk bonus-bonus jika target tercapai.
Saya juga tidak gengsi melakukan pekerjaan lain, ngojek misalnya. Menurut saya ini profesi yang menunjang untuk saya yang suka naik motor. Sejauh ini saya baru ngojek untuk adik dan keponakan saya. Kadang jika memungkinkan, ngojek untuk tante saya juga :D. Bagi saya, ngojek itu semacam hobi yang menghasilkan, walau mungkin keliahatan tidak keren. :P
Jika musim lebaran tiba, saya tidak pernah melepaskan kesempatan membuat kue kering. Labanya sangat menggiurkan. Seperti tahun ini misalnya, sebelum ramadhan tiba, saya harus datang lebih pagi, jika perlu sebelum toko grosir itu buka, karena jika terlambat sedikit saja, maka saya harus berdesak-desakan dengan pembeli lain yang mengantre di toko grosir bahan-bahan kue demi kepingan rupiah yang dapat di hemat. Dari awal puasa sampai dengan tujuh hari sebelum lebaran, subuh hingga magrib, saya berkutat dengan lekatnya adonan, loyang, dan panasnya oven. Menyusunnya di toples-toples cantik, sesekali mengantarkan pesanan-pesanan itu. Semuanya sendiri.
Kepingan logam juga selalu saya kumpulkan di celengan tanah liat atau plastik daur ulang, saya masih percaya, uang receh yang sering diabaikan itu bisa menjadi lembaran merah yang melegakan. Syaratnya cuma satu, jangan hitung uang koinmu itu sampai saatnya tiba.
Kalau kemudian saya seringkali keliatan jalan-jalan dan sepertinya banyak uang, saya sedang menikmati setelah lelahnya berjuang melawan pedihnya berhemat, menolak ajakan nongkrong, sampai menahan sakit pinggang di depan adonan-adonan kue kering demi pundi-pundi uang yang terkumpul, demi jalan-jalan yang seringkali menggoda.
Mungkin setelah ini saya akan sibuk mengirimkan aplikasi lamaran dan mempertimbangkan beberapa tawaran atau mungkin mencari celah lain yang lebih menantang. Tentunya semua itu akan berujung pada pundi-pundi yang akan kembali penuh.
Satu catatan lagi, selain uang dan perjalanan ini, saya kini lebih memahami dan mengamini, bahwa dengan banyak memberi, kita akan banyak menerima. Lain kali kuceritakan hal itu padamu kawan.
Ayo menabung!
![14126650401786844431](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14126650401786844431.jpg?t=o&v=300?t=o&v=770)
![1412665667471857021](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1412665667471857021.jpg?t=o&v=300?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI