Pasal lainnya yaitu pasal 283 UU No 7 Tahun 2017, pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Â
Larangan tersebut meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. Â
Anggota bawaslu Jakarta Selatan tersebut menyebutkan bahwa tolak ukur tingkat netralitas seorang Presiden dapat terlihat dalam pasal 281 UU No 7 Tahun 2017.
UU tersebut menjelaskan bahwa kampanye pemilu yang dilakukan Presiden, wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali Fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangan dan menjalani cuti diluar tanggungan negara.
"Kalau ukuran itu sekiranya dilanggar, bawaslu harus bertindak gitu ya," ungkapnya. "Karena ketentuannya sudah ada, saya kira kita semua pihak memang harus tunduk dengan peraturan yang sudah ada, saya kira bawaslu yang punya wewenang untuk menindak dugaan pelanggaran itu harus berani melakukan penindakan pelanggaran," lanjut Ardhana.
Walaupun sebagai individu pastinya memiliki preferensi politik yang berbeda, pejabat negara harus bisa menjaga netralitas sesuai dengan peraturan Undang-undang yang ada. Bahkan ekspresi, gestur, perilaku, serta tindakan yang dilakukan dapat berpengaruh terhadap netralitas pemimpin.
Sebagai masyarakat sipil, tentunya terdapat tindakan yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilu yang jujur dan adil. "Mengingat bahwa negara kita adalah negara yang demokrasi, masyarakat dapat menjadi organ yang dapat mengkritik maupun memberikan saran kepada rangkaian pemilu itu sendiri," kata Daffa.
"Sebagai orang yang dapat mengevaluasi dan mengkritik, kita harus melihat secara terperinci apa saja kejanggalan yang timbul dalam rangkaian sebelum pemilu 2024. Karena jika terus dibiarkan, maka para pemangku kepentingan yang akan bermain kotor di pemilu nantinya dapat merugikan masyarakat Indonesia" lanjutnya.
Daffa juga mengungkapkan bahwa perlu pencerdasan politik lebih lanjut di kalangan masyarakat, agar masyarakat tidak buta akan perpolitikan Indonesia yang dapat dikatakan berada di situasi genting.
"Kita harus menjaga situasi yg baik ini dengan tidak menggunakan saya kira ya kalimat-kalimat negatif, seperti bahasa cawe-cawe yg akhirnya diterjemahkan secara berbeda oleh publik," tutup Ardhana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H