Mohon tunggu...
Shefia YulianAfandi
Shefia YulianAfandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Administrasi Publik tahun 2021 di Universitas Airlangga

Memiliki hobi membaca, menulis, mendengarkan musik, dan menonton

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia Terapkan Pajak Karbon untuk Mitigasi Perubahan Iklim, Sanggupkah?

22 Juni 2022   23:30 Diperbarui: 22 Juni 2022   23:36 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diketahui bahwa Indonesia sudah mulai berkomitmen untuk beralih menjadi negara ekonomi hijau. Komitmen ini didasari dengan mulai disahkannya RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi undang – undang (UU) melalui sidang paripurna yang dilaksanakan pada hari Kamis, 7 Oktober 2021. Dalam proses pengesahan tersebut, tentu telah menempuh proses yang diwarnai  dengan perdebatan yang panjang. Diskusi tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa pajak karbon dinyatakan sebagai pajak baru di Indonesia dengan besaran dan aturan pajak yang baru. Sebenanya apa itu pajak karbon?

Apa Itu Pajak Karbon?

Meski penetapan RUU HPP sudah disahkan, penulis yakin bahwa masih banyak masyarakat awam maupun pihak terkait yang belum mengerti tentang pajak karbon. Sementara penting bagi mereka terutama sektor industri yang menjadi salah satu sasaran pajak ini untuk memahami hal ini. Pemahaman tersebut bertujuan agar mereka mengerti dan mampu merealisasikan kebijakan pajak dengan baik dan tepat.

Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi pembuangan gas CO­2 atau hasil bahan bakar fosil. Mulanya pajak ini dibuat untuk meminimalisir adanya polusi/emisi GRK yang ditimbulkan akibat aktivitas produksi oleh pabrik industri dan pengurangan bahan bakar fosil yang digunakan baik individu atau badan industri (Hindarto, 2021). Oleh karena itu, subjek pajak akan dikenakan biaya berdasarkan jenis dan jumlah baan bakar yang diproduksi/konsumsi sesuai data laporan penggunaan emisi GRK yang telah diverifikasi.

Latar Belakang Pajak Karbon 

Kondisi iklim di dunia saat ini sudah mencapai level cukup kritis. Terbukti dengan fenomena kenaikan suhu di berbagai negara termasuk Indonesia. Kondisi ini dipicu dengan besarnya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang ada di atmosfer.  Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup (KLHK) 2020, telah terjadi kenaikan emisi GRK nasional sebanyak 4,3 % pada tahun 2018-2020 (KLHK, 2021). Akibatnya, Indonesia mengalami kenaikan permukaan laut sebanyak 0,8-1,2 cm/tahun, sedangkan sebagian penduduk berada di wilayah pesisir (Bappenas 2021) RISIKO pada  (KLHK, 2021). Hal ini tentu menimbulkan berbagai risiko bencana seperti banjir, penurunan kualitas kesehatan, dan kelangkaan pangan.

Untuk meminimalkan dan mencegah terjadinya berbagai risiko akibat perubahan iklim yang terjadi, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebanyak 29% berasal dari dalam negeri atau 41% dengan mendapat dukungan internasional. Dukungan internasonal ini terjalin berdasarkarkan kesepakatan yang diadakan mengenai mitigasi perubahan iklim tersebut pada tahun 2030 (djp, n.d.). Tentu rencana yang dijanjikan tersebut membutuhkan dana dan komitmen dari para pelaku aktivitas ekonomi yang berpotensi sebagai penghasil GRK untuk mampu beralih ke energi terbarukan.

Pengaturan UU HPP

Pengaturan HPP dirancang agar UU ini nantinya akan dilaksanakan secara teratur, terarah, dan berkelanjutan. Pengaturan tersebut antara lain sebagai berikut.

Pertama, dalam mengimplementasikan kebijakan pengenaan pajak karbon dilakukan secara bertahap sesuai roadmap yang dirancang yaitu dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi. Lalu yang kedua adalah penggunaan prinsip atas pengenaan pajak karbon. Pemerintah mengunakan prinsip keadilan “prinsip pencemar membayar” dan keterjangkauan dengan tujuan kepentingan rakyat.

Kemudian yang ketiga adalah penetapan besaran harga karbon yaitu dengan minimal tarif Rp30,00/kg karbondioksida ekuivalen (CO2e). Kebijakan pajak karbon ini pertama kali akan dilaksanakan pada tanggal 1 April 2022 dengan target wajib pajak yaitu sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Skema yang digunakan adalah cap dan tax yang mana sejalan yang ada di PLTU batu bara.

Saran Implementasi Pajak Karbon di Indonesia

Dalam  pelaksanaan UU HPP tentu akan mengalami peristiwa pro dan kontra selama kebijakan ini dilaksanakan. Banyak tantangan yang harus dilalui oleh pemerintah untuk mampu mencapai keberhasilan dan tujuan yang diinginkan. Sehingga dibutuhkan pertimbangan dan persiapan yang matang agar kegiatan implementasi berjalan lancar dan berkerlanjutan. Oleh karena itu, penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, pemfokusan target sasaran dari pengenaan pajak karbon ini harus jelas dan terarah. Pajak ini tidak digunakan untuk mendapatkan pendapatan semata seperti pajak lainnya, namun fokus utamanya adalah pengurangan emisi GRK dari produksi/konsumsi olehindividu atau sektor industri. Pemerintah harus benar – benar mengalokasikan hasil pajak tersebut untuk kebutuhan lingkungan, seperti pembuatan energi terbarukan, pengadaan teknologi ramah lingkungan, dan penghijauan kembali. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengurangi terjadinya polusi udara dan meminimalisir bias.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun