Jarum jam menunjukkan pukul 17.30 WIB, seperti keluarga muslim kebanyakan, kamipun menyiapkan hidangan berbuka puasa yang terakhir di bulan Ramadhan 1434 H ini. Tak dinyana hujan yang awalnya hanya rintik-rintik kecil berangsur turun begitu derasnya, membuat kami sepertinya harus mengurungkan niat takbiran di depan rumah sambil menabuh kendang-kendangan yang sudah kami siapkan sejak siang harinya.
Tak seperti biasanya, televisi kali ini harus disetel untuk mendengarkan kumandang adzan maghrib sebagai penguat datangnya waktu maghrib karena biasanya suara adzan yang begitu pelan sampai ke rumah kami akan tambah kabur karena kalah dengan suara derasnya air hujan yang mengguyur atap rumah kami. Seolah tak mau kalah, kilat plus petir-pun bersahutan menyapa kami. Ternyata beginilah kalau jadi tetangga kampung Pondok Petir, harus ikut akrab juga dengan petir. Tak bisa kami bayangkan bagaimana petir bersahutan di kampung itu, yang dalam sejarahnya dinamakan Pondok Petir karena memang petir muncul jauh lebih banyak dibanding daerah lain, bahkan dengan daerah di sekitarnya.
Anak kami yang nomor dua yang berusia tiga setengah tahun coba mengingatkan bundanya dengan aksen seperti orang dewasa, "Bun, matiin tivinya, nanti kebakaran lho". Entah mengapa, kami seperti mengabaikan saja ucapan yang keluar dari mulut mungilnya tersebut, padahal bisa jadi peringatan tersebut beemanfaat. Benar saja, belum sempat mematikan tivi, kilat yang besar membuat halaman rumah seperti siang sesaat diarengi suara petir yang kencang membuat sebagian listrik di rumah kami, termasuk tivi-nya (kelistrikan di rumah kami dipecah dengan 2 MCB) menjadi 'pett'. (belakangan kami ketahui bahwa anak kami tersebut tahu hal begitu dari kakeknya. Ketika di rumah kakeknya, dan sedang asyik menonton tv, lalu turun hujan, maka sang kakek segera mematikan tivi dan mencabut antena sambil berujar seperti yang diucapkan anak kami tersebut). Bukan hanya itu saja, setelahnya, dari box MCB muncul percikan. Karuan saja kami jadi agak panik.
Khawatir karena hujan masih deras dan petir masih terus bersahutan, akhirnya sengaja kami turunkan meteran yang terpasang di teras. Jadilah buka puasa terakhir kita tahun ini ditemani cahaya lilin dan emergency lamp. Selang beberapa saat setelah menunaikan shalat maghrib berjamaah kami mencoba menaikkan meteran, kemudian menyalakan lampu di dalam rumah. Baru merasa nyaman beberapa saat, percikan di Box MCB terlihat lagi. Spontan, langsung saja kami turunkan lagi meteran listriknya. Wah, sepertinya rencana berlebaran di rumah sendiri untuk pertama kalinya akan batal nih.
Adzan isya berkumandang. Teringat ungkapan seorang ulama besar terdahulu, "Kun Rabbaniyyun, wa la takun Ramadhaniyyun", jadilah kamu hamba Rabb-mu (yang terus beribadah), dan janganlah kamu jadi hamba Ramadhan (yang hanya beribadah di bulan Ramadhan), akhirnya kuajak anakku yang nomor 2 dan kutinggalkan sejenak istri dan anak-anakku yang lain untuk menunaikan Shalat Isya berjama'ah di masjid. Selesai shalat, kami langsung memutuskan, kalau listrik tidak kembali normal dalam waktu 30 menit, maka kita akan berangkat ke rumah kakeknya anak-anak (orangtua istri) untuk takbiran dan lebaran di sana. Sambil menunggu 30 menit berlalu, kami berdo'a dengan mengharap yang terbaik, agar rencana kami berlebaran di rumah sendiri bisa terwujud.
Ternyata ALLAH mendengar do'a kami. Hujan berhenti (belakangan teman yang tinggal dekat kami mengatakan bahwa hujan berhenti persis setelah sidang itsbat menyatakan bahwa Idul Fitri jatuh esok hari). Dan ketika baru akan keluar mencari taksi, entah darimana datangnya dan siapa yang mengabari, ujug-ujug di depan rumah kami sudah ada sebuah mobil MPV berwarna hitam dengan tangga alumunium besar di atasnya. Dengan sopannya, salah satu dari dua orang petugas yang ternyata dari PLN itu meminta izin masuk, dan langsung menuju ke MCB, seperti sudah mengetahui permasalahan yang kami hadapi. Tanpa bertanya lagi, mereka berdua langsung bertindak dengan gesitnya mengecek sistem kelistrikan di rumah kami tersebut. Sekilas saya perhatikan mereka memakai baju kerja berwarna biru muda dengan tulisan besar 'Pelayanan Teknik' di bagian belakangnya. Saya juga sempat tanya siapa yang menyuruh mereka datang, mereka jawab atasan yang memerintahkan untuk berkeliling mencari warga yang bermasalah dengan listriknya, agar bisa menikmati malam takbiran dan lebaran dengan listrik yang normal. Pun begitu, tidak tampak raut wajah terpaksa dari mereka berdua, malah mereka terlihat enjoy dengan tugasnya itu. Beberapa saat kemudian, byarr.... AlhamduliLLAH listrik bisa kembali menyala dengan normal. Saya sempatkan untuk menanyakan apa permasalahannya, salah satu dari mereka menjawab 'nol'-nya kendor pak (sambil menunjuk kabel berwarna biru pada box MCB), sehingga muncul percikan, ini sudah dikencangin, tegangan juga normal, insyaALLAH tidak jadi masalah lagi. Senang sekali anak-anak ketika tahu bahwa mereka jadi takbiran dan berlebaran di rumah sendiri.
Saking senangnya, saya berniat untuk memberi tip kepada kedua petugas itu. Memang sekilas saya pernah mendengar bahwa PLN sedang menggalakkan program apalah namanya yang kurang lebih berisi bahwa semua petugas PLN dilarang korupsi, termasuk di dalamnya menerima suap ataupun tip. Tapi, melihat trek rekor PLN sebelum-sebelumnya saya sempat pesimis bahwa program itu bisa berjalan. Untuk itu, sekalian aja coba saya tes. Sengaja saya siapkan beberapa lembar puluhan ribu untuk tip. Ketika saya sampaikan tip tersebut, di luar dugaan mereka menolak tanpa raut 'mupeng' sama sekali, bahkan cenderung tegas. Luar biasa.
AlhamduliLLAH, dengan izin ALLAH, akhirnya kami bisa takbiran dan lebaran di rumah dengan hadiah lebaran dari PLN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H