Setelah merayakan kemenangan pada tanggal 1 Syawal, umat Islam dibeberapa daerah Indonesia ,tak terkecuali Madura, punya tradisi yang dirayakan seminggu setelah hari raya Idul Fitri, tepatnya tanggal 8 Syawal. Tradisi itu terkenal dengan sebutan hari raya ketupat. Pada hari raya tersebut masyarakat membuat ketupat yang bahannya dari pelepah daun kelapa yang masih muda, kami terbiasa menyebutnya daun “JANUR”. Ketupat bagi sebagian orang susah dibuatnya, karena mungkin memang agak sulit, membuat ketupat bisa dibilang gampang-gampang susah. Ada cara-cara khusus dalam pembuatannya.
Masyarakat Madura punya tradisi mengajarkan cara membuat ketupat secara turun-temurun. Jadi keluarga yang sudah bisa mengajarkan caranya kepada anggota keluarga yang lainnya sampai bisa, baik perempuan ataupun laki-laki. Namun, tradisi itu sudah mulai menghilang tergerus perubahan zaman. Banyak anggota keluarga yang sudah mulai enggan belajar membuat ketupat sendiri. Begitupun anggota keluarga yang tahu cara membuat ketupat sudah enggan mengajarkan anggota keluarga yang lain, alasannya sederhana “untuk apa susah2 buat ketupat kalo sudah banyak yang jual, lebih praktis dan gak repot”.
Disamping membuat ketupat, masyarakat Madura merayakan hari rayanya dengan membuat “leppet”. “Leppet” adalah sejenis makanan yang wadahnya juga terbuat dari “janur” muda, tapi bentuknya berbeda dari ketupat. “Leppet” dibuat dari janur yang diikat melingkar. Jika ketupat isinya beras, makanya “leppet” bahan dasarnya adalah beras ketan yang dicampur dengan parutan “enyor”.
Dua makanan tersebut (ketupat dan “leppet”) adalah makanan spesial hari raya ketupat. Masyarakat yang merayakan biasanya memberikan makanan tersebut kepada tetangga sekitar, tokoh masyarakat dan ustadz sebagai tanda syukur. Berharap apa yang dilakukan memberikan kebaikan kepada keluarga mereka baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia agar diberikan kemudahan hidup dan keberkahan di alam kubur. Meskipun secara praktek masih menjadi pertentangan oleh kalangan-kalangan tertentu yang “skeptis”. Beberapa dari mereka beranggapan hal tersebut cuma tradisi “sia-sia”, tak ada manfaat didalamnya. Bahkan dikalangan aliran keagamaan tertentu beranggapan hal tersebut diluar konteks amal ibadah dalam beragama.
Tak bermaksud mempertajam pertentangan itu, penulis hanya ingin membingkai dalam kacamata berbeda. Hari raya ketupat sebagai sebuah simbol tradisi yang pantas dilestarikan meskipun sekarang sudah mulai terkikis dan dilupakan. Beberapa alasan kenapa hari raya ketupat perlu dilestarikan sebagai salah satu local wisedom adalah:
1.Simbol persatuan
Ketupat merupakan sebuah simbol kekuatan persatuansebagaimana bentuk ketupat sendiri terbentuk dari ikatan kuat lewat rangkaian manis “janur”. Maka sudah sepantasnya kita sesama muslim membangun kekuatan ukhuwah islamiyah agar tak lagi bercerai berai menjadi bentuk dan kelompok sendiri yang berantakan tanpa bentuk yang jelas. “Janur” juga umum digunakan sebagai simbol penyatuan 2 insan yang akan mengikat tali pernikahan.
2.Simbol silaturrahmi
Lewat ketupat ini masyarakat saling berbagi. Mempererat tali persaudaraan dan silaturrahmi. Kerabat yang satu berkunjung ke kerabat yang lain. Berbagi maaf, tawa, canda dan kebahagiaan. Memahami bahwa sebenarnya kita ada ditengah-tengah masyarakat dan harus mampu beradapatasi lewat jalinan berbagi ketupat.
3.Simbol kebersaan dan solidaritas
Di sebagian daerah pada hari raya ketupat punya kebiasaan berkumpul di mesjid untuk berdzikir dan berdoa bersama-sama untuk kepentingan bersama, kepentingan umat dan negara. Sungguh nilai kepedulian luhur yang sudah sepantasnya dijaga. Bukan saatnya mempertajam perbedaan pendapat tapi mempersatukan nilai rasa sosial antar sesama.
Madura, 15 Agustus 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H