Mohon tunggu...
Shasta Yazira
Shasta Yazira Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswi aktif prodi Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sangat suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mencegah Perang Nuklir di Semenanjung Korea: Tugas Bagi Diplomasi Dunia

14 September 2024   22:32 Diperbarui: 14 September 2024   22:39 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kita sudah tidak asing dengan konflik yang terjadi antara Korea Utara dan Korea Selatan. Konflik ini telah berlangsung sejak Perang Korea tahun 1950-1953. Konflik ini merupakan salah satu dampak jangka panjang dari perang dingin dan memicu ketegangan dan menciptakan dua rezim yang sangat berbeda di Korea Utara dan Korea Selatan. Setelah kekalahan Jepang di Perang Dunia II, Semenanjung Korea terbagi di sepanjang garis lintang 38 derajat utara oleh sekutu. Bagian utara diduduki oleh Uni Soviet, sementara bagian selatan diduduki oleh Amerika Serikat. Pembagian inilah yang menjadi awal mula perpecahan Korea menjadi Korea Utara dengan ideologi komunis, dan Korea Selatan dengan ideologi kapitalis. Perang kedua negara ini dimulai pada 25 Juni 1950 dimana Korea Utara memulai invasinya ke Korea Selatan karena ia menginginkan unifikasi di Semenanjung Korea,  yang didukung oleh Uni Soviet dan China. Perang ini melibatkan negara super power Amerika Serikat dan China selama masa Perang Dingin. Perang ini masih belum berakhir, karena pada tahun 1953 kedua negara hanya sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Bahkan Garis Demiliterisasi (DMZ) masih berada di sekitar garis lintang 38 derajat sebagai batas antara kedua negara tersebut. Setelah gencatan senjata dideklarasikan, kedua negara ini berkembang dengan cara yang sangat berbeda. Korea Utara menjadi negara komunis dibawah pimpinan Kim Il Sung, dan Korea Selatan membangun sistem yang kapitalis. Terbentuknya dua bentuk ideologi dan dua pemerintahan Korea di Semenanjung Korea diakibatkan oleh perang dingin yang terjadi dalam sistem politik bipolar.

Korea Utara mulai mengembangkan pertahanannya pasca Perang Korea, salah satunya ialah memgembangkan nuklir mereka. Perkembangan nuklir Korea Utara dalam bidang pertahanan telah menjadi fokus utama dalam dinamika keamanan di Semenanjung Korea. Sejak 1990-an, Korea Utara memulai pengembangan senjata nuklir yang semakin intensif di bawah kepemimpinan Kim Jong-il dan kemudian dilanjutkan oleh Kim Jong-un. Salah satu langkah paling signifikan adalah uji coba misil balistik yang dilakukan pada 2016, dengan 24 uji coba dan hanya 5 di antaranya yang gagal. Hal ini menunjukkan bahwa Korea Utara serius dalam memperkuat kapabilitas militernya, khususnya dalam hal senjata nuklir dan misil balistik jarak jauh, termasuk Inter-Continental Ballistic Missile (ICBM) dan Submarine Launched Ballistic Missile (SLBM) (Leofarhan & Abdul Rahman Azzqy, 2017). Sebagai respons, Korea Selatan dan Amerika Serikat mempererat kerja sama pertahanan mereka, terutama melalui penempatan sistem pertahanan rudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense). THAAD dirancang untuk menangkal ancaman misil balistik dari Korea Utara, dan ditempatkan di Korea Selatan pada tahun 2017. Langkah ini bertujuan untuk memberikan perlindungan sementara bagi Korea Selatan, mengingat sistem pertahanan misil domestik mereka, seperti L-SAM Cheongsam-2, masih dalam tahap pengembangan. Kerja sama ini menunjukkan pendekatan defensif Korea Selatan terhadap ancaman Korea Utara dan pentingnya dukungan Amerika Serikat dalam mempertahankan keamanan di Asia Timur (Leofarhan & Abdul Rahman Azzqy, 2017). Sementara itu, Korea Utara menganggap kerjasama Korea Selatan dan Amerika Serikat sebagai "pernyataan perang" dan mengancam akan mengambil tindakan lebih lanjut, seperti dengan  meluncurkan lebih banyak uji coba misil jika kedua negara tersebut tetap melanjutkan kerjasama mereka (Leofarhan dan Azzqy,  2018).

Dalam jurnal yang ditulis oleh Sung-han Kim dan Scott A. Snyder, 2019, Upaya denuklirisasi Korea Utara telah menghadapi berbagai tantangan selama bertahun-tahun, terutama setelah serangkaian pertemuan diplomatik antara Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un. Meskipun pertemuan-pertemuan ini awalnya memberikan harapan bagi kemajuan, pada akhirnya gagal mencapai tujuan yang diinginkan. Ketiadaan hasil yang nyata dari negosiasi diplomatik ini telah mendorong para ahli, seperti Sung-han Kim dan Scott A. Snyder, untuk berpendapat bahwa sudah waktunya bagi Amerika Serikat dan sekutunya untuk mempertimbangkan "Rencana B" dalam menangani program nuklir Korea Utara. Karena kegagalan mereka dalam diplomasi KTT di Hanoi pada tahun 2019 di mana Trump menolak untuk mencabut sanksi ekonomi tanpa komitmen denuklirisasi penuh, menunjukkan kesenjangan mendasar antara tujuan AS dan Korea Utara. Tujuan utama Kim Jong-un tampaknya adalah normalisasi Korea Utara sebagai negara nuklir, bukan denuklirisasi.

Menurut Kim dan Snyder, Amerika Serikat perlu mengadopsi pendekatan yang lebih realistis terhadap tantangan nuklir Korea Utara. Pendekatan yang dimaksud adalah rencana yang berfokus pada penahanan dan pencegahan daripada janji denuklirisasi yang tidak pasti melalui negosiasi. Rencana yang mereka sebut sebagai rencana B memiliki elemen inti dari strategi ini, meliputi peningkatan pencegahan yang diperluas, pengetatan sanksi ekonomi, dan mempertahankan kehadiran militer AS yang kuat di Korea Selatan dan Jepang. Dengan kemampuan rudal Korea Utara yang semakin berkembang, kredibilitas komitmen pertahanan AS terhadap Korea Selatan dan Jepang telah menjadi isu krusial. Memperkuat kerangka pencegahan dengan menempatkan aset strategis tambahan di kawasan ini akan memberikan jaminan kepada sekutu-sekutu AS dan mengirimkan sinyal tegas terhadap agresi Korea Utara. Rezim sanksi ekonomi yang diperbarui dan lebih aresif, dengan penegakan yang lebih baik oleh China dan Rusia, dapat memaksa Korea Utara untuk memilih antara kelangsungan ekonomi dan ambisi nuklirnya. Mempertahankan kehadiran militer yang kuat di Korea Selatan dan Jepang sangat penting untuk menghadapi ancaman Korea Utara. Mengurangi jejak AS di kawasan ini, seperti yang disarankan oleh beberapa pihak, akan melemahkan pencegahan dan mendorong Korea Utara untuk menguji batas-batas komitmen AS terhadap sekutu-sekutunya (Kim dan Snyder, 2019). Rencana ini menawarkan pendekatan yang pragmatis untuk menangani ancaman nuklir Korea Utara sambil menghindari risiko konfrontasi militer mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun