Mohon tunggu...
Shasta Yazira
Shasta Yazira Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswi aktif prodi Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sangat suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sengketa Jalur Pelayaran Tersibuk di Dunia, Laut China Selatan: Bagaimana Ancamannya Bagi Kedaulatan Indonesia?

31 Mei 2024   01:44 Diperbarui: 31 Mei 2024   15:34 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Research Center for Future of Indonesia

Ini dia Jalur Perdagangan Tersibuk di dunia, Laut China Selatan atau The South China Sea. Laut China Selatan adalah wilayah laut yang terbentang dari Selat Malaka di barat daya, hingga Selat Taiwan di timur laut. Laut ini hanya berjarak 100 mil dari garis pantai China, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei, Indonesia, Singapura, Kamboja, Thailand, dan Vietnam. Letaknya yang strategis menjadikan wilayah ini sebagai jalur utama pelayaran perdagangan dunia yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sehingga disebut sebagai Jalur Pelayaran Tersibuk di dunia. 

Selain itu, Laut China Selatan memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Diperkirakan terdapat 190 triliun kubik gas alami, 11 miliar ton minyak, dan sekitar 12% tangkapan ikan dari seluruh dunia berasal dari Laut China Selatan (EIA, 2013). Maka dari itu, banyak negara yang berusaha mengklaim wilayah ini sehingga Laut China Selatan menjadi kawasan yang disengketakan atau diperebutkan.

Sengketa ini diawali dengan klaim yang dilakukan oleh China pada tahun 2009 dengan mengirim sebuah peta kepada PBB. Ia mengklaim kawasan Laut China Selatan di peta dengan Sembilan Garis Putus-putus (Nine-Dash Line) yang merupakan hampir dari seluruh wilayah tersebut. Wilayah ini termasuk Pulau Spratly yang juga di klaim oleh Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. China juga meminta hak atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di setiap pulau-pulau yang mengelilingi kawasan Laut China Selatan. 

Klaim yang dilakukan oleh China didasari dengan catatan sejarah mereka yang menganggap Laut China Selatan sebagai daerah kekuasaan mereka sejak dinasti Han dan Qing. Klaim sepihak tersebut kemudian ditentang oleh internasional, terlebih negara-negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan. 

Namun China tidak menanggapi reaksi internasional dan tetap melakukan pembangunan untuk memperluas pulau buatan serta memasang fasilitas militer di beberapa terumbu karang yang disengketakan, seperti di kepulauan Spratly dan Paracel. Klaim sepihak ini memicu ketegangan diplomatik dan militer antara China dan negara-negara yang terlibat. Karena wilayah ini bersinggungan dengan kedaulatan dan hak berdaulat Negara-negara lain.  

Lalu apa hubungannya dengan kedaulatan Indonesia? Indonesia memang tidak sepenuhnya terlibat dalam konflik ini, namun Sengketa Laut China Selatan mengancam kedaulatan Indonesia karena wilayah Nine-Dash Line yang diklaim oleh China bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna.  Hal ini tentu memicu ancaman kedaulatan Indonesia dengan potensi pelanggaran oleh kapal-kapal China. Indonesia perlu meningkatkan keamanan maritim dan diplomasi proaktif untuk melindungi kepentingan nasional. 

Selain itu, Para pakar dan akademisi menyebutkan kekhawatiran mereka dengan konflik ini yang tidak hanya melibatkan claimant state tetapi memungkinkan akan terjadinya konflik dengan negara atau kawasan yang memiliki kepentingan besar di daerah perairan tersebut atau justru dapat melibatkan negara yang beraliansi dengan negara yang bersengketa (Asifa, Is mail, Nantika, 2021).

Pada tahun 2021, Pemerintah China mengirimkan surat protes kepada Kementerian Luar negeri Indonesia karena Indonesia telah melakukan pengeboran minyak dan gas alam di Natuna dan meminta Indonesia untuk menghentikan pengeboran mereka karena China menilai Indonesia telah memasuki teritorialnya. Hal ini tentu tidak sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan oleh United Nation Convention for The Law of The Sea (UNCLOS) atau Hukum Laut PBB. Karena wilayah yang diprotes oleh China merupakan hak berdaulat Indonesia yang sudah ditetapkan pada 1982 yang lalu. 

Pemerintah Indonesia mengirim surat balasan yang mengatakan bahwa protes dari China tidak bisa diterima, karena Indonesia melakukan pengeboran di wilayah landasan kontingen yang sesuai dengan UNCLOS (BBC.com, 2021). Hal yang serupa juga terjadi pada 2 Mei 2023, dimana Kapal riset perikanan China yang bernama Nan Feng terdeteksi dan diduga melakukan penelitian ilmiah kelautan tanpa izin di ZEE Indonesia. 

Sementara dalam Pasal 56 (1) dan 246 Unclos 1982 serta Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE, aktivitas penelitian ilmiah di ZEE Indonesia hanya boleh dilaksanakan atas persetujuan/izin dari Pemerintah Indonesia (IOJI, 2023). Secara tidak langsung, segala aktivitas yang dilakukan oleh China di ZEE Indonesia adalah aktivitas yang ilegal, dan berarti China telah melanggar hak berdaulat Indonesia.

Dalam hukum internasional, tindakan China tersebut merupakan tindakan unilateral claim, karena mereka tidak bisa mengikat negara lain untuk mengakui apa yang telah mereka klaim. Secara hukum internasional, Indonesia telah melakukan persistent objection (penolakan secara terus-menerus) dan memilih untuk tidak bersikap reaktif. Meskipun China melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan China adalah normal activity karena klaim Laut China Selatan yang mereka buat merupakan klaim berdasarkan sejarah kelautan mereka atau historical title (FHUI, 2016). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun