Indonesia memiliki beragam budaya yang terdiri dari 34 provinsi dan 16.056 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Di dalamnya terdapat banyak mitos yang dipercaya dan mengajarkan arti kehidupan. Contohnya jangan duduk di dekat pintu, berarti jangan menghalangi orang lain. Tentunya ini terdengar asing dan aneh. Tetapi, banyak pelajaran yang dapat diambil dari mitos-mitos yang beredar. Selain itu, masyarakat Indonesia juga memiliki nilai tradisional yang mendarah daging. Seperti gotong royong, tanggung jawab, kejujuran, dan toleransi. Nilai inilah yang menjadi dasar negara, pemersatu keberagaman. Pancasila.
Dikutip dari IDN TIMES, “banyak warga asing yang menyukai Indonesia karena keramah-tamahannya. Ini dapat terlihat dengan senyum yang selalu tergambar jika bertemu orang tidak dikenal”. Biasanya, masyarakat saling tolong menolong jika ada sesuatu misalnya mobil mogok di jalan. Tetapi, tampaknya budaya ini kian tergerus oleh perkembangan zaman. Arus globalisasi datang dengan cepat. Sehingga, mengubah pola pikir masyarakat.
Dampak Negatif Globalisasi
Istilah ‘globalisasi’ sudah tak asing didengar. Berasal dari bahasa inggris yaitu ‘globalize’ yang memiliki makna universal atau menyeluruh dan‘ization’ di kata globalization berarti proses mendunia. Singkatnya, globalisasi adalah proses ketika bidang kehidupan (informasi, gaya hidup, teknologi, dan pemikiran) mendunia. Dengan adanya globalisasi, negara yang ada di dunia hampir kehilangan batas geografisnya. Dunia seakan sempit dan jarak antar daerah sudah tak lagi menjadi halangan. Globalisasi juga memicu perubahan besar maupun kecil, karena saling terhubung satu sama lain. (Tirto.id – 3 Juli 2021)
Globalisasi memiliki dampak positif maupun negatif. Dampak ini dapat terjadi di sektor nasionalisme, salah satunya adalah sosial-budaya. Hal ini dikarenakan terjadi perubahan tatanan hidup masyarakat. Dahulu, masyarakat menjunjung nilai gotong royong dan istilah ‘bersatu kita teguh bercerai kita runtuh’. Tetapi, sekarang nilai tersebut berganti menjadi indivisualis, mementingkan kepentingan pribadi. Masyarakat terjebak dengan mengedepankan hedonisme dan apatisme. Gaya hidup mewah dan sikap konsumtif menjadi ciri khas. Lebih menyukai gaya kebarat-baratan yang tak sesuai dengan nilai dan etika masyarakat Indonesia. Merosotnya nilai ini membuat Indonesia semakin di ujung tanduk, terperosok ke dalam jurang kehancuran.
Moral Bangsa yang Terkikis
Kemerosotan moral bangsa ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang kini tidak sesuai dengan nilai Pancasila. Masuknya pola kehidupan asing digemari dan ditiru oleh masyarakat. Seperti 15-20% remaja di Indonesia melakukan hubungan seks di luar nikah, jumlah kasus kriminal remaja pada tahun 2017 tercatat mencapai 1.150 kasus yang terdiri dari pencurian, narkoba, hingga pemerkosaan. Terdapat 270.000 pekerja seks perempuan di Indonesia. Setiap tahun terdapat 2,3 juta kasus aborsi terjadi. Kehidupan senang-senang yang diiringi sikap konsumtif dan hedonisme telah menjadi gaya hidup. Cara berpakaian yang serba minim dan tak kenal sopan santun menjadi tren di masyarakat.
Berbicara mengenai sopan santun, tampaknya menjadi masalah yang krusial. Kebanyakan remaja kehilangan tata krama dan sopan santun kepada orang yang lebih tua, seperti orang tua. Padahal, orang tua adalah figur yang harus dihormati dan dihargai. Tak jarang ditemukan kasus pembulyan terhadap orang tua. Sering juga didapati kebiasaan berbohong pada orang tua. Tentunya ini adalah sikap yang melenceng dari ajaran tradisi masyarakat Indonesia. Tidak mencerminkan kejujuran.
Kemajuan teknologi saat ini membuat masyarakat bersikap individualis dan apatis atau acuh tak acuh. Ini terbukti dengan terlalu lama berdiam diri di rumah tanpa mengenal tetangga. Lebih memilih gawai dibanding lingkungan. Sulitnya sosialisasi ini berdampak pada sifat seseorang, sehingga menjadi lebih egois dan kehilangan rasa solidaritas. Rasa kebersamaan yang selalu hadir dalam diri masyarakat Indonesia luntur seketika karena kemajuan teknologi.
Tidak semua dampak globalisasi berakhir negatif. Pada akhirnya, semua keputusan berakhir pada diri sendiri. Dirilah yang memilih bagaimana harus berbuat, apakah ingin menyaring kebudayaan luar yang datang ke Indonesia atau tidak. Tetapi, apakah mau jika diri menjadi asing di negara nya sendiri? Apakah bangga menjadi warga negara Indonesia yang tak kenal dengan budayanya sendiri?
Penulis : Sharuna Sekar Rachman