Menjadi seorang fotografi bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi mereka yang berkecimpun sebagai fotografer jurnalistik. Tentu, tugas mereka bukan hanya sekadar memotret mengejar hasil yang bagus, namun lebih dari itu, mereka juga dituntun harus mampu menghasilkan sebuah pesan untuk masyarakat dari foto yang dibidik. Intinya, foto-foto yang dibidik dapat menjadi sebuah medium untuk berkisah mengenai peristiwa yang sudah terjadi maupun yang sedang terjadi.
Belum lama ini, tepatnya tanggal 5 September 2018, Erasmus Huis Jakarta bekerja sama dengan Bentara Budaya Jakarta menyelenggarakan Pameran Fotografi bertajuk "World Press Photo".Â
Pameran ini menampilkan berbagai karya dari para fotografer seluruh dunia yang telah terpilih sebagia pemenang kompetisi The 2018 World Press Photo Content. Dalam pameran tersebut, ada sejumlah 42 fotografer dari 22 negara yang dipamerkan.
Karya foto yang memenangkan kompetisi ini direncanakan akan dipamerkan di 100 lokasi berbeda di 45 negara yang dipubilkasikan dakam sebuah buku multi-bahasa.
Aspek yang harus diterapkan dalam fotografi jurnalistik
Terbagi menjadi 8 kategori, meliputi nature, environment, people, contemporary issues, general news, sports, long-term projects, dan spot news, kita dapat menyaksikan peristiwa yang selama ini mungkin luput dari padangan kita.
Dikutip dari laman Kumparan.com (9/04/2017) bahwa Frank Hoy dalam bukunya PhotoJournalism: The Visual Approach, penilaian terhadap foto jurnalistik harus mampu menggunakan kriteria sederhana, seperti foto harus mampu menyampaikan sebuah pesan, memancing emosi bagi yang melihat, dan foto harus mampu menyajikan sudut pandang sehingga ketika orang lain menyaksikan, mereka tidak perlu banyak menganalisis.
Nilai Humanisme di balik fotografiÂ
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa fotografi jurnalistik banyak memotret peristiwa di luar sana yang jarang dilihat oleh orang secara langsung. Seperti di pameran ini, ada sebuah potret yang diambil oleh Ami Vitale mengenai kehidupan perburuan gajah liar.Â
Hingga pada akhirnya, gajah-gajah tersebut mendapati kehidupan yang lebih baik dikarenakan adanya kepedulian dari komunitas Ancestral (terbentuk tahun 2016) yang anggotanya sendiri merupakan masyarakat lokal dan orang-orang yang peduli kepada keselamatan gajah di wilayah Kenya.
Namun ketangkasan monyet tersebut layaknya manusia dan mampu beradaptasi dengan lingkungan, membuat beberapa orang menjadikannya sebuah objek untuk dipekerjakan di industri hiburan.Â
Meskipun sebenarnya monyet-monyet tersebut merupakan satwa yang dilindungi, namun beberapa hukum permerintahan di sana memberikan izin untuk menjinakan mereka dan dilatih untuk sebagai sarana hiburan.
Pemburuan badak afrika terus meningkat, bahkan di tahun 2007, hampir 13 badak yang diburu dan yang mengejutkan harga tanduk atau cula yang dijual bisa mencapai 20.000-50.000 euro per kilogramnya. Namun, kini Bostwana menjadi sebuah tempat untuk melindungi badak-badak tersebut dari ancaman kemunahan dan pemburuan liar.
Berbagai limbah serta sampah banyak tergenang hingga mencemari laut. Karya foto Kadir Van Lohuizen merupakan "sentilan" nyata bahwa sampah tidak hanya di darat, melainkan juga di laut. Kini, laut sudah tercemar akibat ulah manusia.Â
Dari penelitian yang dilakukan oleh World Bank dikatakan bahwa dunia setidaknya telah menghasilkan 3,5 juta sampah setiap harinya dan jika ini tak ditanggulangi dengan baik dan benar di tahun 2050 akan diperkirakan jumlah sampah akan lebih banyak daripada jumlah ikan yang ada di laut (data world economic forum).
Pemerintah Ethiopia melihat bahwa pembangunan tersebut dapat membawa keuntungan, seperti meningkatkan tenaga hidrolisterik, meningkatkan produksi air untuk pertanian dan meningkatkan kunjungan dari para wisatawan.Â
Namun, kini pembangunan tersebut membuat keanekaragaman hayati yang kian menyusut, krisis air di sungai Turkana, menurunnya sumber lahan subur untuk memenuhi kebutuhan pangan tahunan dan tersingkirnya penduduk pribumi.
Foto tersebut menyoroti praktik menyetrika payudara di Kamerun, masyarakat di sana masih memiliki keyakinan bahwa praktik tersebut dilakukan bagi para gadis yang berusia 8-12 tahun guna menghentikan kesialan, menghalangi pemerkosaan dan menunda pertemuan seksualitas.Â
Selain itu, hal yang mengerikan dari proses penyetrikaan itu ialah penggunaan benda-benda keras, seperti ikat pinggang, batu panas hingga alat penumbuk. Meskipun ritual tersebut sangat menyakitkna, namun para ibu di sana percaya itu merupakan bentuk kasih sayang bagi anak-anak perempuan mereka untuk menjauhkan diri mereka dari tindak kejahatan.
Membaca karya fotografi jurnalisti bukanlah perkara yang mudah, terutama bagi saya yang saat itu menjadi pengunjung untuk waktu yang sebentar. Namun, saya juga dapat pembelajaran bahwa dunia yang begitu indahnya, masih menyimpan sisi gelap yang jarang tereskpos.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H