Mohon tunggu...
Sharfina
Sharfina Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Writer

Suka jalan-jalan ke tempat baru sambil motret tidak asal jepret 📸

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyusuri Nilai Humanisme dari Balik Fotografi Jurnalistik

1 Oktober 2018   18:15 Diperbarui: 1 Oktober 2018   19:47 1883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Muslim Rohingya di Myanmar yang ahrus mengungsi ke Bangladesh karena tempat tinggal mereka dibakar. Kehidupan masyarakat saat itu terbilang menyakitkan untuk dilihat, ribuan orang kelaparan dan kekurangan tempat tinggal.| Dokumentasi pribadi

Menjadi seorang fotografi bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi mereka yang berkecimpun sebagai fotografer jurnalistik. Tentu, tugas mereka bukan hanya sekadar memotret mengejar hasil yang bagus, namun lebih dari itu, mereka juga dituntun harus mampu menghasilkan sebuah pesan untuk masyarakat dari foto yang dibidik. Intinya, foto-foto yang dibidik dapat menjadi sebuah medium untuk berkisah mengenai peristiwa yang sudah terjadi maupun yang sedang terjadi.

Belum lama ini, tepatnya tanggal 5 September 2018, Erasmus Huis Jakarta bekerja sama dengan Bentara Budaya Jakarta menyelenggarakan Pameran Fotografi bertajuk "World Press Photo". 

Pameran ini menampilkan berbagai karya dari para fotografer seluruh dunia yang telah terpilih sebagia pemenang kompetisi The 2018 World Press Photo Content. Dalam pameran tersebut, ada sejumlah 42 fotografer dari 22 negara yang dipamerkan.

42 fotografer dari 22 negara memamerkan karya mereka di pameran bergengsi ini.| Dokumentasi pribadi
42 fotografer dari 22 negara memamerkan karya mereka di pameran bergengsi ini.| Dokumentasi pribadi
World Press Photo sendiri merupakan acara bergensi. Para juri yang merupakan pegiat foto jurnalis professional dan Magdalena Herrena sebagai ketua dari kontes ini telah melangsungkan seleksinya di Amsterdam sehingga terpilih pemenang dari 8 kategori yang dilombakan. 

Karya foto yang memenangkan kompetisi ini direncanakan akan dipamerkan di 100 lokasi berbeda di 45 negara yang dipubilkasikan dakam sebuah buku multi-bahasa.

Aspek yang harus diterapkan dalam fotografi jurnalistik

Fotografi karya Carla Kogelman yang menggambarkan kehidupan kakak beradik yang harus hidup di daerah bionergy. Sang footografer sudah memulai mengikuti kehidupan kakak beradik tersebut sejak tahun 2012.| Dokumentasi pribadi
Fotografi karya Carla Kogelman yang menggambarkan kehidupan kakak beradik yang harus hidup di daerah bionergy. Sang footografer sudah memulai mengikuti kehidupan kakak beradik tersebut sejak tahun 2012.| Dokumentasi pribadi
Belum lama ini tepatnya kamis (13/9/2018) saya pergi ke Bentara Budaya Jakarta untuk menyaksikan Pameran Fotografi "World Press Photo". Di dalam ruangan tersebut, terpajang berbagai hasil fotografi dari berbagai fotografer yang ada di belahan dunia. 

Terbagi menjadi 8 kategori, meliputi nature, environment, people, contemporary issues, general news, sports, long-term projects, dan spot news, kita dapat menyaksikan peristiwa yang selama ini mungkin luput dari padangan kita.

Kategori nature, pengunjung dapat melihat perjuangan kehidupan satwa liar yang berusaha bertahan hidup dari pemburuan liar dan kepunahan.| Dokumentasi pribadi
Kategori nature, pengunjung dapat melihat perjuangan kehidupan satwa liar yang berusaha bertahan hidup dari pemburuan liar dan kepunahan.| Dokumentasi pribadi
Fotografi jurnalistik lahir tentu bukan tanpa sebab, mereka melalui foto, harus mampu menyampaikan peristiwa dari hasil jepretan mereka dengan sebenarnya tanpa dibuat-buat. Selain itu, fotografi jurnalistik juga dituntun dapat membuat kombinasi gambar dan tulisan (caption)  seperti layaknya sebuah paragraf ketika akan menulis sebuah cerita.

Dikutip dari laman Kumparan.com (9/04/2017) bahwa Frank Hoy dalam bukunya PhotoJournalism: The Visual Approach, penilaian terhadap foto jurnalistik harus mampu menggunakan kriteria sederhana, seperti foto harus mampu menyampaikan sebuah pesan, memancing emosi bagi yang melihat, dan foto harus mampu menyajikan sudut pandang sehingga ketika orang lain menyaksikan, mereka tidak perlu banyak menganalisis.

Nilai Humanisme di balik fotografi 

Seperti dikatakan sebelumnya bahwa fotografi jurnalistik banyak memotret peristiwa di luar sana yang jarang dilihat oleh orang secara langsung. Seperti di pameran ini, ada sebuah potret yang diambil oleh Ami Vitale mengenai kehidupan perburuan gajah liar. 

Hingga pada akhirnya, gajah-gajah tersebut mendapati kehidupan yang lebih baik dikarenakan adanya kepedulian dari komunitas Ancestral (terbentuk tahun 2016) yang anggotanya sendiri merupakan masyarakat lokal dan orang-orang yang peduli kepada keselamatan gajah di wilayah Kenya.

Karya Ami Vitale yang memperlihatkan bagaimana kepedulian komunitas Ancestral dan penduduk lokal dalam upaya menolong gajah liar dari pemburuan dan kepunahan.| Dokumentasi pribadi
Karya Ami Vitale yang memperlihatkan bagaimana kepedulian komunitas Ancestral dan penduduk lokal dalam upaya menolong gajah liar dari pemburuan dan kepunahan.| Dokumentasi pribadi
Selain itu, penampakan potret kehidupan hewan yang seharusnya bebas di alamnya sendiri dapat dijumpai juga pada sebuah karya Jasper Doest (Belanda). Dalam potret tersebut diperlihatkan bagaimana Japanese Macaque (monyet salju) dijadikan sebuah objek hiburan di Jepang. Padahal monyet Salju sendiri merupakan hewan yang sudah dilindungi dari tahun 1947. 

Namun ketangkasan monyet tersebut layaknya manusia dan mampu beradaptasi dengan lingkungan, membuat beberapa orang menjadikannya sebuah objek untuk dipekerjakan di industri hiburan. 

Meskipun sebenarnya monyet-monyet tersebut merupakan satwa yang dilindungi, namun beberapa hukum permerintahan di sana memberikan izin untuk menjinakan mereka dan dilatih untuk sebagai sarana hiburan.

Potret Monyet Salju yang seharusnya hidup dengan bebas di alam liar, justru kini dijadikan sebuah objek entertainment.| Dokumentasi pribadi
Potret Monyet Salju yang seharusnya hidup dengan bebas di alam liar, justru kini dijadikan sebuah objek entertainment.| Dokumentasi pribadi
Dari potret dua hewan tersebut, kita juga masih bisa melihat potret seekor badak putih selatan yang terancam punah. Para pemburu khususnya dari Vietnam dan China memburu cula atau tanduknya untuk dijadikan obat-obatan atau hanya sekadar pajangan. 

Pemburuan badak afrika terus meningkat, bahkan di tahun 2007, hampir 13 badak yang diburu dan yang mengejutkan harga tanduk atau cula yang dijual bisa mencapai 20.000-50.000 euro per kilogramnya. Namun, kini Bostwana menjadi sebuah tempat untuk melindungi badak-badak tersebut dari ancaman kemunahan dan pemburuan liar.

Potret Badak Putih Selatan yang diburu demi mendapatkan tanduknya untuk dijual, padahal seharusnya satwa ini dilindungi dari kepunahan.| Dokumentasi pribadi
Potret Badak Putih Selatan yang diburu demi mendapatkan tanduknya untuk dijual, padahal seharusnya satwa ini dilindungi dari kepunahan.| Dokumentasi pribadi
Di Pameran World Press Photo, kita juga bisa melihat perbuatan manusia yang tanpa sadar mencemari lingkungan. Di salah satu foto, saya melihat bahwa laut kini menjadi sebuah tempat yang sudah tidak lagi indah. 

Berbagai limbah serta sampah banyak tergenang hingga mencemari laut. Karya foto Kadir Van Lohuizen merupakan "sentilan" nyata bahwa sampah tidak hanya di darat, melainkan juga di laut. Kini, laut sudah tercemar akibat ulah manusia. 

Dari penelitian yang dilakukan oleh World Bank dikatakan bahwa dunia setidaknya telah menghasilkan 3,5 juta sampah setiap harinya dan jika ini tak ditanggulangi dengan baik dan benar di tahun 2050 akan diperkirakan jumlah sampah akan lebih banyak daripada jumlah ikan yang ada di laut (data world economic forum).

Kini sampah tak hanya ada di darat, melainkan di laut. Setiap negara memiliki prosedur tersendiri dalam menangani sampah yang setiap harinya.| Dokumentasi pribadi
Kini sampah tak hanya ada di darat, melainkan di laut. Setiap negara memiliki prosedur tersendiri dalam menangani sampah yang setiap harinya.| Dokumentasi pribadi
Selanjutnya, selain kita bisa melihat permasalahan dari sisi lingkungan, kita bisa melihat kategori Long-term project dari karya Fausto Podavini (Italia) yang mana kehidupan tradisional dari Suku Suri dan Suku asli Ethiopia lainnya terancam akibat pembangunan bendungan PLTA Gibe III. 

Pemerintah Ethiopia melihat bahwa pembangunan tersebut dapat membawa keuntungan, seperti meningkatkan tenaga hidrolisterik, meningkatkan produksi air untuk pertanian dan meningkatkan kunjungan dari para wisatawan. 

Namun, kini pembangunan tersebut membuat keanekaragaman hayati yang kian menyusut, krisis air di sungai Turkana, menurunnya sumber lahan subur untuk memenuhi kebutuhan pangan tahunan dan tersingkirnya penduduk pribumi.

Potret masyarakat suku Suri dan asli Ethiopia karena pembangunan bendungan PLTA Gibe III.| Dokumentasi pribadi
Potret masyarakat suku Suri dan asli Ethiopia karena pembangunan bendungan PLTA Gibe III.| Dokumentasi pribadi
Selesai menjelajahi kategori long-term project, saya pun menelusuri gambaran foto hitam putih karya Heba Khamis, seorang fotografer asal Mesir  Dalam foto tersebut, tampak seorang ibu bernama Veronica yang sedang memijat payudara putrinya bernama Michelle. 

Foto tersebut menyoroti praktik menyetrika payudara di Kamerun, masyarakat di sana masih memiliki keyakinan bahwa praktik tersebut dilakukan bagi para gadis yang berusia 8-12 tahun guna menghentikan kesialan, menghalangi pemerkosaan dan menunda pertemuan seksualitas. 

Selain itu, hal yang mengerikan dari proses penyetrikaan itu ialah penggunaan benda-benda keras, seperti ikat pinggang, batu panas hingga alat penumbuk. Meskipun ritual tersebut sangat menyakitkna, namun para ibu di sana percaya itu merupakan bentuk kasih sayang bagi anak-anak perempuan mereka untuk menjauhkan diri mereka dari tindak kejahatan.

Karya Heba Khamis yang memperlihatkan sosok ibu yang menyetrika payudara anaknya karena sebuah tradisi.| Dokumentasi pribadi
Karya Heba Khamis yang memperlihatkan sosok ibu yang menyetrika payudara anaknya karena sebuah tradisi.| Dokumentasi pribadi
Menulusi setiap potret dari fotografi jurnalisme membuat saya kagum terhadap mereka (Fotografer) yang berani untuk menyaksikan peristiwa tersebut secara langusng bahkan sekaligus menjadi saksi yang tentunya tidak akan mereka lupakan --saksi bahwa dunia yang besar dengan keindahan alamnya, namun ternyata masih banyak menyimpan peristiwa yang begitu menyakitkan dan jarang terekspos di luar sana.

Membaca karya fotografi jurnalisti bukanlah perkara yang mudah, terutama bagi saya yang saat itu menjadi pengunjung untuk waktu yang sebentar. Namun, saya juga dapat pembelajaran bahwa dunia yang begitu indahnya, masih menyimpan sisi gelap yang jarang tereskpos.

Potret Muslim Rohingya di Myanmar yang ahrus mengungsi ke Bangladesh karena tempat tinggal mereka dibakar. Kehidupan masyarakat saat itu terbilang menyakitkan untuk dilihat, ribuan orang kelaparan dan kekurangan tempat tinggal.| Dokumentasi pribadi
Potret Muslim Rohingya di Myanmar yang ahrus mengungsi ke Bangladesh karena tempat tinggal mereka dibakar. Kehidupan masyarakat saat itu terbilang menyakitkan untuk dilihat, ribuan orang kelaparan dan kekurangan tempat tinggal.| Dokumentasi pribadi
 Jakarta, 26 September 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun