Mohon tunggu...
Saif Hardy
Saif Hardy Mohon Tunggu... -

I believe, writing can change the people's life. Though it is not the only factors, yet it plays very important role, at least for me. I find new people, express ideas, communications, arts and profesionalism, through Writing. Last but not least, happiness. What else could I say?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Abusing the Intelligence of Indonesians

26 Mei 2011   18:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:10 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seharian tadi saya mengikuti sebuah seminar nasional yang diselenggarakan oleh Supreme Council of Health Qatar. Sekitar 150 peserta yang hadir dalam acara yang diselenggarakan di sebuah hotel berbintang di negara tersebut. Dari semua peserta, hanya tiga orang yang berasal dari Indonesia. Ketiga-tiganya perawat, termasuk saya.

Yang menjadi perhatian utama saya bukannya pembicara atau materinya. Namun panitia penyelenggara, yang-semoga saja mata ini tidak salah melihat- seluruhnya berwarga-negara Filipina. Tanpa meneliti lebih jauh apa profesinya.

Lebih parah lagi, masih ada lagi yang sempat bikin saya iri. Warga negara tetangga kita yang satu ini, setuju-atau tidak, telah mampu ‘merebut hati’ Pemerintah Qatar melalui kementrian kesehatannya. Sementara negeri kita, jangankan untuk meng-eksport pesawat, memberangkatkan perawat saja, sekarang ini repotnya bukan main! Sungguh, saya merasa ‘tergelitik’ kalau terlalu ekstrem jika saya katakan sakit hati!

Apakah orang-orang Indonesia sudah sedemikian bodoh sehingga untuk mengirmikan tenaga kerja di sektor kesehatan saja, rasanya rumit sekali? Kayaknya terlalu terburu-buru untuk disebutkan demikian. Walaupun kita tahu, bahwa negara kita yang kaya raya alamnya ini, yang dipimpin oleh seorang doktor, ternyata mayoritas penduduknya masih miskin dan sulit mendapatkan pendidikan yang layak. Walaupun kita sadar benar, bahwa mayoritas tenaga kerja kita yang berada di luar negeri tidak lebih dari tenaga kurang terampil alias pembantu rumah tangga. Sekali lagi, kita bukanlah orang-orang bodoh, walapun melek mata, bahwa negara kita secara ekonomi, budaya hingga politik masih belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Saya memosisikan diri ini dalam situasi yang amat dilematis untuk tidak mengatakan bahwa orang-orang kita ini pada dasarnya banyak yang cerdas, pintar atau pandai. Bagaimana tidak? Betapa banyak jumlah perguruan tinggi yang ada dan menelorkan jutaan sarjana. Kalaupun pada pada akhirnya banyak sarjana yang menganggur, itu persoalan yang siapa mau ngatur?

Kita semua tahu, banyak prestasi yang direbut oleh pelajar-pelajar kita di berbagai arena olimpiade internasional: fisika, kimia, matematika, hingga computer. Saking banyaknya yang pinter, sampai-sampai-di negeri yang jika harga bahan pokoknya naik, akan sulit kembali diturunkan ini-tidak sulit untuk menemukan mereka yang mampu korupsi. Di negeri yang kaya akan jumlah televisi namun cukup berbelit jika program-programnya direvisi untuk kepentingan publik, sulit menjerat mereka yang jelas-jelas memeras rakyat, lewat jalur hukum.

Apa realitas yang demikian masih belum cukup guna membuktikan bahwa banyak orang kita yang pintar?

Sebagi warga negera Indonesia, saya tidak terima ketika orang lain, dari negara lain tentunya, yang mengatakan bahwa warga Indonesia tidak dapat dikategorikan sebagai warga yang pintar. Apalagi jika alasannya hanya karena tidak lancar dalam berbahasa Inggris saja. Pronunciation yang kerap salah. Atau perbendaharaan kata-katanya yang amat kurang.

Dibanding dengan India, Filipina, Pakistan, Bangladesh atau Nepal yang masyarakatnya banyak diakui keterlibatan jasanya dalam membangun sejumlah negara-negara Teluk misalnya, orang kita sebagian besar masih lebih asyik main di belakang saja (Baca: Dapur. Red). Memang, jumlah engineer (saya lebih suka menggunakan kata ‘engineer’ yang ke-Inggris-an, ketimbang kata ‘insinyur’ yang bahasa Belanda), mulai menunjukkan jumlah yang cukup menggembirakan di Qatar. Tetapi, professional yang satu ini masih kalah angkanya.

Setidaknya, atas dasar inilah saya tidak rela, jika warga kita disebut tidak cerdas. Tidak pintar atau pandai. Orang Indonesia, sekali lagi, banyak yang pintar koq!

Lantas, apa yang ingin saya soroti di sini?

Yang ingin saya ulas adalah, apa benar, bahwa guna membangun bangsa yang besar ini, agar menjadi bangsa yang lebih baik, dibutuhkan orang-orang yang pintar? Tinggi IQ nya, atau istilah akademiknya, tinggi Indeks Prestasinya (IP)?

Di hampir seluruh jajaran pendidikan di negeri ini, tolok ukur keberhasilan seseorang dalam menempuh pendidikan adalah tingginya angka yang tertulis dalam rapor atau ijazahnya. Sekalipun kita tahu bahwa pada saat kerja (kecuali di Indonesia), tidak pernah ditanya, berapa IP kita. Apalagi di akhirat!

Rata-rata orangtua di negeri ini tercekoki prestasi anak-anaknya dengan ‘angka’ yang diberikan oleh guru/dosen. Jarang sekali orangtua yang mengedepankan ‘nilai sikap’ anak-anaknya. Keberhasilan anak-anak seringkali diidentikan dengan besarnya nilai, satu sampai sepuluh, yang di dapat dari hasil ujian. Orangtua akan sangat bangga jika anak-anaknya mampu menjawab matematika, kimia, fisika. Orangtua kita luar biasa senangnya jika anak-anaknya mampu menjawab pertanyaan, bahwa 2x2=4. Makanya tidak heran, ada orangtua yang dengan enaknya berprinsip: “Anak-anak nakal nggak apa-apa, asalkan pintar!”

Sebaliknya, hanya sedikit dari kita yang sadar, bahwa betapa sikap, justru amat besar peranannya dalam pribadi anak. Mulai dari tingginya motivasi, nilai sebuah kreasi, semangat, kejujuran, minat, kepedulian, sensitivitas, kemampuan mengendalikan emosi, ketajaman dalam mempertimbangkan keputusan dan lain-lain aspek sikap, semua ini tidak dapat diukur oleh guru dengan angka.

Jarang orangtua kita yang memiliki perbedaan pola piker, bahwa 2x2 itu bisa sama dengan 5-1, atau sama dengan 3+1. Sebuah kecerdasan dalam dimensi lain, yang tidak kalah cerdasnya. Seolah-olah, jika ini yang dilontarkan oleh anak, dianggap sebagai jawaban yang melenceng!

Orangtua kebanyakan lupa, bahwa besarnya suatu bangsa bukanlah diukur oleh gelar yang disandang para penyelenggara negara yang memiliki setumpuk title di depan dan belakang namanya, apalagi dari perguruan tinggi ternama. Orangtua kita rata-rata bangga jika anaknya lulusan Harvard, bukannya Madina Al Munawara.

Orangtua kebanyakan juga lupa, bahwa jika anak-anak mereka kelak menjadi karyawan atau warga yang baik, bukanlah semata-mata karena kecerdasannya. Melainkan sikapnya. Orangtua kebanyakan terlena, bahwa jika kita hanya mengandalkan sisi kepinteran saja, akan hancur bahkan sebuah negara.

Belum cukupkah bukti-bukti saat ini? Bahwa karena dikendalikan oleh orang-orang yang pintar, namun tidak atau kurang memiliki sikap yang baik, tatanan kehidupan pemerintahan, kenegaraan, kemasyarakatan, keadilan, kesejahteraan, kependidikan, kebudayaan, dan lain-lain ‘ke…..an’, jangankan kelas kecil macam seminar di Qatar, kehidupan negara kita yang besar ini, bisa porak-poranda.

Makanya, jangan heran, jika di negeri yang luar biasa kayanya ini, meski banyak orang pintar yang mempimpin berbagai bidang kementrian, korupsi dan manipulasi membudaya dan menggurita. Kebejatan moral jadi pemandangan biasa.

Atau, saya saja yang sepertinya kurang begitu percaya, bahwa inikah yang namanya pelecehan kecerdasan manusia Indonesia?

Doha, 26 May 2011

Shardy2@hotmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun