Mohon tunggu...
Shapna Ayu Pratiwi Mansyur
Shapna Ayu Pratiwi Mansyur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Notaris Modern: Menjaga Etika dan Tanggung Jawab Profesi di Era Digital

10 November 2024   02:02 Diperbarui: 10 November 2024   03:50 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki era digital yang serba cepat, profesi notaris menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan integritas etika dan tanggung jawab profesinya. Bagaikan meniti di atas tali yang tipis, notaris harus menyeimbangkan tuntutan efisiensi teknologi dengan prinsip-prinsip fundamental profesi yang telah berusia ratusan tahun. Pertanyaan krusialnya: bisakah profesionalitas dan etika tetap terjaga di tengah arus digitalisasi yang tak terbendung?

Dalam era digital yang semakin maju, profesi notaris dihadapkan pada tantangan besar dalam mempertahankan etika dan tanggung jawab profesinya. Kasus pemalsuan sertifikat tanah senilai Rp 5 miliar yang melibatkan seorang notaris di Jakarta pada awal tahun 2023 adalah salah satu contoh nyata yang menunjukkan risiko yang muncul akibat kelalaian dalam verifikasi identitas digital. 

Sepanjang tahun tersebut, terdapat setidaknya 15 kasus serupa di berbagai kota besar di Indonesia, dengan total kerugian mencapai Rp 25 miliar. Kasus-kasus ini bukan hanya sekadar angka, tetapi merupakan sinyal peringatan bagi profesi notaris bahwa modernisasi dan penggunaan teknologi tanpa pengawasan yang ketat dapat mengancam integritas dan reputasi mereka. 

Para ahli seperti Prof. Dr. Habib Adjie dan Dr. Emma Nurita menegaskan bahwa etika profesi notaris harus tetap menjadi prioritas utama, meskipun ada kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi. Digitalisasi seharusnya digunakan untuk memperkuat prinsip-prinsip etika, bukan untuk mengabaikannya.

Fenomena "cyber notary" muncul sebagai respons terhadap kebutuhan efisiensi dalam layanan notaris, terutama selama pandemi COVID-19 yang memaksa banyak sektor untuk beradaptasi dengan cepat terhadap teknologi digital. Data menunjukkan bahwa penggunaan layanan notaris digital meningkat hingga 300% selama periode tersebut. 

Meskipun kemudahan ini memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk mendapatkan layanan notaris, hal ini juga membawa risiko baru yang signifikan. Sebagai contoh, di Surabaya, seorang notaris menerbitkan akta tanpa melakukan verifikasi tatap muka yang memadai, yang berujung pada kerugian sebesar Rp 3 miliar dan merusak reputasi profesi notaris secara keseluruhan. 

Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 65% kasus malpraktik notaris di era digital berakar dari pengabaian prinsip-prinsip etika dasar profesi. Selain itu, hanya 35% notaris yang sepenuhnya memahami risiko keamanan siber yang dapat mengancam praktik mereka. Temuan ini mencerminkan perlunya perhatian lebih terhadap aspek-aspek etika dan kehati-hatian dalam praktik notaris di tengah kemajuan teknologi yang cepat. 

Mari kita lihat empat aspek krusial yang harus dibenahi:

Pertama, regulasi etik profesi notaris perlu diselaraskan dengan perkembangan teknologi. Kode Etik Notaris yang ada harus mampu mengakomodasi tantangan era digital tanpa kehilangan esensinya.
Kedua, infrastruktur teknologi harus dibangun dengan mempertimbangkan aspek etika dan tanggung jawab profesi. Sistem verifikasi biometrik, misalnya, harus lebih dari sekadar alat -- ia harus menjadi perpanjangan dari prinsip kehati-hatian notaris.
Ketiga, peningkatan kompetensi digital notaris harus berjalan beriringan dengan penguatan pemahaman etika profesi. Pelatihan tidak boleh hanya fokus pada aspek teknis, tetapi juga pada dimensi moral penggunaan teknologi.
Keempat, dan mungkin yang paling mendasar, adalah membangun kesadaran bahwa teknologi adalah alat, bukan pengganti etika profesi. 

Singapura memberikan contoh baik dalam hal ini. Melalui program E-Notary mereka, teknologi justru digunakan untuk memperkuat -- bukan menggantikan -- peran etis notaris. Sistem mereka memastikan bahwa setiap langkah digitalisasi tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar profesi notaris. Indonesia sebenarnya sudah memulai langkah serupa melalui SABH Kemenkumham. Namun, ini baru awal. Kita membutuhkan framework etik yang lebih komprehensif untuk menghadapi tantangan era digital.

Dalam menghadapi tantangan era digital, aspek krusial yang membutuhkan pembenahan dalam praktik notaris mencakup regulasi etik profesi, infrastruktur teknologi, dan peningkatan kompetensi. Regulasi etik profesi perlu direvisi untuk mengakomodasi perubahan yang dibawa oleh digitalisasi tanpa mengorbankan nilai-nilai fundamental yang telah ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun