Saat orang butuh bantuan profesional (marriage coach/counseling/konsultan) dalam pernikahan mereka, biasanya istri selalu duluan datang. Tidak jarang suami mereka tidak tahu atau enggan untuk mengunjungi bantuan profesional tersebut. Para suami biasanya berkata,
"Saya tidak punya masalah dengan istri saya"
"Pernikahan kami baik-baik saja"
"Masalah kami tidak sebesar itu"
"Dia tidak akan meninggalkan saya kok, tenang aja!"
Padahal istri mereka sudah gerah, meradang, putus asa atau dalam bahasa kerennya "crying for help".
Pada saat pertengkaran mencapai puncaknya, koneksi emosi mereka terputus, dan pernikahan sudah di ambang perceraian, barulah para suami kelabakan, marah bercampur kuatir. Kalau sang istri beruntung, para suami akhirnya setuju menemui marriage coach, psikolog, pendeta, ustad, pastur, konselor atau siapa pun yang bisa menolong pernikahan mereka.
Padahal pada saat itu, pernikahan sudah menjadi begitu sulit untuk diselamatkan. Permasalahan yang ada sudah mendarah daging, sangat kompleks, seperti benang kusut yang tidak kelihatan mana ujungnya.
Alkisah seorang pendeta sedang berapi-api berkotbah di sebuah gereja kecil di pedesaan. Waktu itu perayaan Paskah sedang berlangsung. Karena gereja tidak sanggup menampung jemaat yang menghadiri kebaktian tersebut, maka gereja pun mendirikan mimbar di halaman gereja yang luas, lengkap dengan kursi-kursi yang disusun penuh sesak memenuhi halaman gereja tersebut.
Cuaca cerah tidak berawan dan suasana yang hangat membuat pak Pendeta semakin berapi-api berkotbah di halaman terbuka tersebut. Tanpa disadari, seekor kucing muncul di mimbar tempat pendeta tersebut berdiri. Kucing itu lenggak-lenggok perlahan, memamerkan bulunya yang keemasan tanpa merasa terganggu oleh suara pak pendeta yang keras terdengar tersebut.
Malang bagi si meong, pak pendeta yang sedang bersemangat tersebut memindahkan posisi kakinya dan menginjak ekor si kucing genit tadi.