Bagi sang waktu, merubah sikap seseorang terasa begitu mudah apalagi ketika engkau sedang jatuh cinta. Dia akan mengalami perubahan drastis, menjadi keren, romantis, cemburu buta, bahkan memiliki rasa takut kehilangan yang berlebihan. Namun ketika dia patah hati, dia akan menjadi marah, kalut, sedih, seolah hanya dialah satu-satunya orang yang tidak pernah beruntung di dunia ini.
Seperti halnya ketika engkau hendak menjerat hati seseorang yang engkau sukai, begitu keras engkau menolak untuk tidak berusaha menarik perhatiannya, begitu tajam engkau menyindirnya, begitu besar rasa tidak pedulimu padanya, namun ketika ia mulai mencari tahu tentang perasaanmu,lalu pada akhirnya kau mulai menerima kenyataan dan perlahan membalas perhatiannya.
Secangkir kopi pertamaku pagi ini sekarang tersisa sesesap saja. Aku masih betah duduk sendiri, merenungi waktu tanpa peduli akan datangnya gerimis yang tadi sebentar menyapa kini telah berganti dengan sinar matahari yang mulai terik membakar.
Setahun sudah berlalu dan pada akhirnya aku lelah menunggu dan menantimu terus menerus. Runtuh sudah benteng kesabaran yang selama ini aku bangun demi memperjuangkanmu. Terkadang terbersit sebuah tanya, "Mengapa begitu lambat?"
Terlambat seperti kisah cintaku yang kini hanya seperti jejak-jejak kopi ditepian bibir cangkir. Membeku dan mengering bersama dengan sisa ampas kopi di dasar cangkir.
Jika disetiap pertemuan aku selalu bertanya, engkau selalu mengelak, mengalihkan perhatian, selalu mengabaikan dengan sesuatu alasan yang memenangkan engkau seseorang. Pemenang? Iya, mungkin pemenang yang terlalu egois.
Aku titipkan sebuah pesan padanya "
"Jika kau mau, katakan mau. Jika kamu tidak mau, ya katakan saja tidak. Jika terlalu lama menunggu, aku tidak mau. Karena menunggu tidak sebercanda itu."
Setelah sedikit bernostalgia, aku bangkit dari mejaku dan melangkahkan kaki untuk pergi. Bukan untuk meninggalkan nostalgianya, namun ingin menghindari sejenak untuk kembali beraktivitas.
(Anna)