Part - 47
"Silahkan masuk!" kata orang itu lemah lembut. Aku merasakan perlakuan yang berbeda dari sebelumnya. Aku dan Domokus di persilahkan duduk di depan mejanya. Meja kerja yang mewah dan bersih. "Apa yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan sopan. Kutatap ceruk matanya. Kutangkap pernik-pernik kemunafikan dalam diri orang ini. Apabila maker yang dilancarkan oleh kelompok bermotifkan perjuangan agama, maka orang ini sama sekali tak memancarkan kepribadian yang bersih. Kunyuk agamais macam inilah yang paling efektif untuk kujadikan begundal. "Aku hanya mau berbicara dengan Pemimpinmu!" kataku tegas. Sejurus orang itu terkesiap. Nyala kemurkaan sekilas tampak di matanya. Namun ia berusaha menahan diri. "Maaf, Pak, '' Katanya agak berat. "Akulah orang yang diberi wewenang  menangani segala urusan di sini!" "Tetapi aku bukan urusanmu,'' sahutku agak kesal. "Aku adalah masalah besar bagi Pemimpinmu!'' Untuk kedua kalinya ia terkesiap. "Bapak-bapak ini darimana?" tanyanya hati-hati. Tanpa banyak pikir lagi, segera kuambil kartu pengenal Zalbak di saku jasku. Kulemparkan ke hadapannya. Ia memungutnya. Namun setelah membaca kartu nama itu, orang itu kebingungan. Kemudian nyengir kuda. Aku jadi curiga. "Kenapa tertawa?" "Bapak memberiku kartu Domino!" Aku sambar kartu ditangannya itu. Sialan, betul juga nih. Tanpa setahuku, kiranya disaku Zalbak tersimpan kartu permainan itu. Sebelum aku memperbaiki kesalahan itu, sekonyong-konyong seseorang masuk. Orang itu langsung berbisisk kepada orang pertama menemuiku. Tampak ia mengangguk-angguk. "Bapak berdua  di persilahkan menemui beliau!" katanya sambil mempersilahkan mengikuti. "Mari!" Aku dan Domokus saling pandang. Aku menjadi curiga mengapa segampang itu memasuki sarang mereka. Jangan-jangan mereka sudah mengetahui kehadiranku terlebih dahulu. Di satu ruang yang menghadap ke jalan, aku dipersilahkan masuk. Ruangan itu sangat luas. Selain warna putih, hampir seluruh ruangan itu berwarna hijau. Mengundang suasana sejuk dan teduh. Di tengah-tengah ruangan terhampar permadani. Aku mendengus. Di depan jendela, berdiri seseorang dengan membelakangi pintu. Berpakaian jubah putih dan berserban hijau. Tak salah lagi, inilah tokoh yang berdiri di belakang semua huru-hara yang barusan terjadi. Sungguh bertolak belakang dengan gaya hidupnya yang tampak tenang dan khusyuk. Orang yang mengantarkan tadi tidak ikut masuk. Aku dan Domokus segera memasuki ruangan hijau itu. Orang itu berbalik menyambutku. Ia mempersilahkan duduk di hamparan permadaninya. "Assalamu'alaikum..........!" tegurnya ramah dan berwibawa. Aku dan Domokus hanya nyengir, tak membalas salamnya. He he he. Jadi malu aku! Setelah duduk berhadapan, aku memperhatikan sosok tokoh ini lebih seksama. Memang aku keikhlasan ibadah orang ini. Memang ia memenuhi persyaratan untuk di ajukan anak-anak cucuku sebagai bakal musuhku. Namun mengapa hologram Tortotor yang justru senantiasa kutangkap. Aneh. "Selamat datang, Saudara Zalbak!" Aku terkejut. Ternyata benar dugaanku. Memang tak mustahir ia telah mengetahui Zalbak terlebih dahulu. Namun aku tahu sumbernya. "Aku tak dapat menyalahkan Saudara Zalbak, andikata merasa heran mengapa aku mengetahui tentang diri saudara ini!" "Memang sesuatu yang tak terduga. Karena aku tak pernah mengenal Bang Xis sebelumnya.'' Kulihat Bang Xis berdiri, menghampiri sebuah meja di sudut ruangan. Mengeluarkan sebuah map. Ia menyorongkan ke mukaku. Tanpa ragu kubuka isi map itu. Ternyata di dalamnya berisi foto-foto Zalbak dalam beberapa peristiwa yang berbeda. Aku melihat saudara Zalbak selalu berdiri di balik peristiwa penting di negeri ini,'' katanya seperti melancarkan tuduhan. "Oleh karena itu, sebelum huru-hara ini dicetuskan sudah diperhitungkan paling tidak Saudara ini pasti akan muncul di belakang hari.'' Aku menyeringai. "Aku hanya seorang pelaksana!" kataku kemudian. Bang Xis mengangguk-angguk. Sepertinya jawabanku memang sudah diketahuinya. Beberapa saat lamanya ia berdiam diri. Tampak tangannya memijit-mijit pahanya. Aku yakin ia sedang berpikir keras. Pandangannya menerawang jauh. "Saudara Zalbak,'' katanya kemudian berhati-hati. "Aku memahami memang negeri ini bukan negara yang berlandaskan agama. Banyak kebijaksanaan tak ada hubungannya dengan masalah moralitas. Penguasa hanya berusaha bagaimana semaksimal mungkin dapat mempertahankan kekuasaannya, kalau mungkin dapat memelihara stabilitas  dalam seluruh sektor kehidupan. "Asas legalitas yang di anutnya berarti semua tindakan atau kebijaksanaan penguasa di atas pijakan hukum. Hukum secular. Namun tidak semua yang berlandaskan pijakan hukum lantas tidak merugikan bidang kehidupan tertentu. Suatu misal : kehidupan keberagamaan.'' Kecurigaannya tak mustahil mulai mengecambah di hatiku. "Apa, apa ini ..........???" tanyanya dengan suara bergetar. Dan kulihat pula tangannya bergetar sedikit memegang map itu, seakan ia sedang memegang bara api. "Betul semua ini?" "Seperti yang Sampeyan lihat dan baca sendiri!" kataku sambil menyeringai kuda. "Apa maksud Saudara.............?" suaranya tetap gemetar. "Sampeyan sudah dapat menebaknya sendiri!" Bang Xis tak bersuara. Membisu seribu bahasa. Keningnya tampak mulai berkeringat. "Penguasa sekarang tak dapat di tolong lagi. Ada beberapa kelompok dalam tubuh penguasa sekarang ini, sudah terpecah belah dan tak dapat di pertautkan lagi. Satu-satunya jalan mencari penyelesaian adalah menghancurkan sama sekali struktur yang sudah membusuk ini.'' Bang Xis masih diam seribu bahasa. "Lakukanlah dengan kekuatan penuh, sehingga penguasa yang sudah sekarat ini tak berkutik lagi!" Aku melihat Bang Xis tetap diam. Aku menjadi tahu diri. Sampai aku mohon diri, ia tetap berdiam diri. ***** " Karya Herly Sauri " .... To be continued - part 48 .....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H