Pendidikan memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter individu dan pembentukan masyarakat yang demokratis. Namun, apakah pendidikan selalu berperan positif dalam mendukung demokrasi, atau justru dapat menjadi alat yang menghancurkannya?Â
Pendidikan dapat berfungsi sebagai pembentuk demokrasi yang kuat apabila dilaksanakan dengan benar, tetapi juga bisa merusak prinsip demokrasi jika tidak dikelola dengan bijak. Teori pendidikan demokratis yang diungkapkan oleh John Dewey pada tahun 1916 menekankan bahwa pendidikan seharusnya berperan dalam mempersiapkan individu untuk berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat dan politik. Dewey berpendapat bahwa pendidikan demokratis tidak hanya berfokus pada penguasaan pengetahuan formal, tetapi juga penting untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, empati, dan kemampuan untuk berdialog.
Di Indonesia, konsep pendidikan demokratis telah diakui sebagai salah satu tujuan dalam sistem pendidikan nasional. Â Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk "mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis". Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, juga memiliki tujuan untuk menanamkan pemahaman mengenai hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan partisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, pendidikan dapat berperan sebagai ancaman bagi demokrasi jika tidak dikelola dengan baik. Salah satu tantangan utama adalah ketika pendidikan digunakan untuk mendoktrinasi pandangan tertentu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Situasi ini muncul ketika kurikulum atau kebijakan pendidikan mendukung ideologi yang membatasi kebebasan berpikir atau mendiskreditkan kelompok tertentu. Teori Friedrich Hayek dalam bukunya The Road to Serfdom (1944) mengemukakan bahwa negara yang terlalu mengontrol pendidikan dapat menciptakan masyarakat yang tunduk pada kekuasaan pusat dan menghilangkan kebebasan individu.
Di samping itu, ketidakmerataan akses pendidikan di Indonesia juga merupakan masalah signifikan yang dapat merusak demokrasi. Pendidikan yang tidak seimbang, dengan perbedaan kualitas antara daerah perkotaan dan pedesaan, menciptakan kesenjangan sosial yang semakin memperburuk ketidaksetaraan.
Diluar dari segala sudut pandang yang ada, pendidikan memiliki potensi besar untuk membentuk atau menghancurkan demokrasi. Di Indonesia, pendidikan seharusnya berfungsi sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi, mengajarkan keterampilan berpikir kritis, dan mendorong partisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan politik. Namun, jika pendidikan digunakan untuk mendoktrinasi ideologi tertentu atau memperburuk ketimpangan sosial, maka pendidikan dapat berfungsi sebagai penghancur demokrasi.Â
Oleh karena itu, penting bagi negara untuk memastikan sistem pendidikan sesuai dengan prinsip demokrasi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan yang inklusif, demokratis, dan berkualitas merupakan kunci utama dalam menjaga demokrasi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H